Paiman alias Beni, 43, termasuk pengamen jalanan yang ulet. Dari hasil menjual
suara di dalam bus, dia mampu mengantarkan anaknya kuliah.
-ABDUL AZIZ, Genteng-
suara di dalam bus, dia mampu mengantarkan anaknya kuliah.
-ABDUL AZIZ, Genteng-
“ASSALAMUALAIKUM, selamat siang saudara
sebangsa dan se-tanah air. Mohon maaf bila mengganggu ketenangan Anda
dalam perjalanan, dan izinkan kami mencari sedikit rezeki di dalam bus
ini.’’ Tak lama kemudian, alunan lagu dangdut Jawa berjudul Stasiun Balapan diiringi suara gitar dan kendang terdengar di dalam bus yang berhenti di jalan sisi utara Terminal Lama Genteng siang itu.
Begitu lagu tersebut hampir selesai
dinyanyikan, salah satu dari ketiga pria yang mengamen tersebut berjalan
dari kursi bagian depan menuju bagian belakang untuk sekadar menarik uang dengar kepada para penumpang. Sebagian penumpang ada merogoh koceknya lalu memberikan uang receh atau ribuan, tapi ada juga yang cuek dan tak menghiraukan.
Siang itu, sebagaimana hari-hari
biasanya, Beni dan kedua rekannya, Sairi dan Anggi, mengamen di dalam
bus yang berhenti di depan Terminal Lama Genteng. Setiap pagi, Beni
bersama Sairi, warga Desa Sumbersari, Kecamatan Srono, dan Anggi, warga
Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng, memang selalu mangkal di depan
terminal bus tersebut. Mereka sudah lama menjadi pengamen.
Beni sebagai vokal dan pemetik gitar, dan Anggi sebagai penabuh gendang. Sairi bertugas menarik
atau meminta uang receh kepada para penumpang. Setiap hari, mereka
mengamen mulai pagi sampai sore. Sepanjang hari itu, mereka rata-rata
bisa mengais uang Rp 90 ribu. “Uang segitu kita bagi bertiga. Jadi
rata-rata kita dapat 30 ribu per hari,” kata Beni.
Bagi Beni, kebutuhan keluarga sudah
cukup dengan penghasilan Rp 30 ribu per hari. Bahkan, uang segitu
mungkin dirasa lebih dari cukup untuk sekadar makan. Bagaimana dengan
biaya sekolah dan kuliah anak-anaknya? Pria kelahiran Magetan itu diam
sejenak. “Sebenarnya nggak cukup. Tapi alhamdulillah selalu ada jalan
keluar,” kata suami Rumiati, 43, tersebut.
Ya, selama ini meski hanya sebagai pengamen, Beni bisa menyekolahkan ketiga anaknya. Anak pertamanya, Okok Wijaya, kini sudah menginjak semester
IV di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Okok
mendalami jurusan fisika kebumian di perguruan tinggi negeri tersebut.
Anak kedua Beni adalah Putri Arumsari. Kini dia sekolah di Madrasah Aliah Negeri (MA) Genteng. Anak ketiganya bernama Mahardika. Kini dia masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK).
Bagi Beni, menyekolahkan semua anaknya adalah sebuah keharusan. Sebab, dia
yang tamatan SD itu tak ingin melihat masa depan anaknya suram. “Saya sudah bodoh, masak anak saya juga bodoh,” tuturnya. Yang lebih membuat dia bangga, ternyata anak-anaknya punya keinginan kuat menuntut ilmu. Mereka semangat belajar meski terkadang kesulitan bayar SPP dan iuran lain di sekolah.
yang tamatan SD itu tak ingin melihat masa depan anaknya suram. “Saya sudah bodoh, masak anak saya juga bodoh,” tuturnya. Yang lebih membuat dia bangga, ternyata anak-anaknya punya keinginan kuat menuntut ilmu. Mereka semangat belajar meski terkadang kesulitan bayar SPP dan iuran lain di sekolah.
Biaya anaknya yang kuliah di ITS; uang kos selama sebulan Rp 300 ribu, uang makan Rp 500 ribu, dan iuran lain-lain di kampus.
Belum lagi biaya sekolah anaknya yang sekolah di MAN Genteng dan biaya
si bungsu di TK. Melihat Beni yang hanya sebagai mengamen, tentu tidak
cukup membiayai kebutuhan sekolah dan kuliah anak-anaknya.
Namun, di mana ada kemauan di situ ada
jalan. Meski selama ini sering mengalami kesulitan biaya, tapi jalan
keluar selalu ditemukan Beni dan keluarga. Saat anak pertamanya masih
duduk di bangku SMA Negeri I Genteng, misalnya. Saat kesulitan biaya,
mendadak ada pihak yang membantu meringankan. Salah satunya adalah istri
mantan Direktur RSUD Genteng, dr. H. Nanang Sugianto.
Begitu tahu Okok adalah anak keluarga
kurang mampu tapi punya kemampuan dan kemauan sekolah, Ny. Nanang mau
membantu biaya sekolah Okok. “Waktu itu, setiap bulan Bu Nanang selalu
membantu bayar sekolah, dan alhamdulillah bisa sampai lulus,” tuturnya.
Kejadian serupa juga terjadi ketika Okok masuk kuliah. Sejak awal dia
memang bertekad menuntut ilmu meski dengan keterbatasan biaya.
Saat itu, dia mengurus beberapa persyaratan untuk mengikuti program bidik misi dari kampus, yang nilai uangnya Rp 500 ribu per bulan. Waktu itu, dia dan Okok mengurus kartu bantuan langsung tunai, pajak bangunan,
listrik, dan surat keterangan dari desa. “Alhamdulillah semua syaratnya
bisa kita penuhi, dan akhirnya sampai sekarang dapat bantuan biaya
melalui program bidik misi itu,” ceritanya.
Hal serupa juga terjadi pada anak
keduanya. Kesungguhan sang anak dan orang tua untuk belajar ternyata
mengundang perhatian Ketua Tanfidziah PCNU Banyuwangi, H. Masykur Ali.
“Pak Masykur membantu biaya anak saya di MAN Genteng, dan membantu
meminta keringanan biaya kepada pihak sekolah,” tuturnya.
Pengalaman-pengalaman itu yang membuat
Beni semakin yakin bahwa keinginan dan cita-cita anaknya meraih
pendidikan yang layak bakal tercapai. Selain mencari rejeki dengan cara
mengamen, Beni juga berusaha bangun malam-malam untuk salat tahajud dan meminta pertolongan Tuhan.
Bahkan, selain rutin menjalankan puasa
Senin dan Kamis, Beni juga sering membaca selawat kepada Nabi Muhammad
SAW. “Saya yakin bisa menyekolahkan semua anak saya sampai selesai
karena saya punya Tuhan yang selalu membantu,” pungkasnya. (radar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar