Jumat, 30 November 2012

Resep Gampang Menjadi Bahagia Ala Rene Suhardono

Bahagia bisa datang dari mana saja. Rene Suhardono punya resep sederhana untuk berbahagia bagi siapa saja. Apa kiatnya?

Namanya kurang familiar dengan nama orang Indonesia, kecuali nama tengahnya, Suhardono. Rene Suhardono Canoneo, itulah sosok yang belakangan cukup banyak mengisi dunia karier dan kehidupan di berbagai media. Bahkan, beberapa waktu lalu, ia sempat berbagi ruang seminar sebagai pengisi acara seminar “Innovation & Creativity”  yang mengundang tokoh besar Steve Wozniak, partner mendiang Steve Jobs dalam membesarkan Apple. Dari kesempatan sepanggung dengan Wozniak itu saja sudah jadi semacam “trademark” bahwa Rene (e yang pertama dibaca seperti menyebut e dari kata lengkap, e yang kedua dibaca seperti menyebut e dari kata ekonomi) memang namanya sedang “melambung” dan banyak dicari orang.

Namanya seolah telah jadi terjemahan bahasa Jawa, rene alias ke sini. Dengan begitu, ia sepertinya memang “ditakdirkan” menjadi orang yang selalu bisa “mengundang” orang lain, baik melalui kisah hidup, pencarian, hingga tips seputar karier—bertajuk UltimateU—yang ditulisnya di harian Kompas saban Sabtu. Tak ayal, mencari jadwal wawancara dengannya pun cukup sulit. Namun, semua itu tertebus dengan inspirasi kehidupan yang muncul dari wawancara singkatnya dengan Majalah LuarBiasa beberapa waktu lalu.

Bicara soal takdir, Rene mengaku bahwa dirinya pernah punya pengalaman sangat menakjubkan dengan “grand design” dari Sang Mahakuasa. “Ayah kandung saya orang Filipina, ayah yang membesarkan saya orang Yogya. Ayah kandung saya ini berpisah dengan ibu waktu saya masih sangat muda. Ini saya ketahui karena dulu saya di sekolah sempat belajar soal golongan darah. Namun itu saya simpan karena saya dibesarkan di keluarga penuh cinta kasih dan berkelimpahan,” sebutnya berkisah. “Kemudian muncul keinginan untuk mencari root saya, jati diri, bukan saya nggak hormati orangtua, justru saya ingin cari tahu saya dari mana sehingga dapat gambaran saya mau ke mana direction -nya. Akhirnya ketahuan ayah di Filipina. Waktu itu saya nekat ke sana hanya berbekal uang yang cukup untuk 6 hari dan Alhamdulillah di hari ke-5 saya bertemu dengan ayah kandung setelah sebelumnya mengalami 17 kebetulan yang jika dikaji dengan teori apa pun nggak mungkin tanpa ada grand design dari Tuhan. Itu misalnya mulai saya telat bangun sehingga nggak dapat jatah makanan dari hotel sehingga harus sarapan ke luar. Saat mau sarapan, makan kesenggol dan jatuh. Kebetulan itu mempertemukan dengan petugas semacam biro statistik di sana. Kemudian naik taksi, kebetulan lagi itu yang nyupirin famili ayah kandung saya.”

Di sinilah, muncul kesadaran, yakni bahwa tiap makhluk di dunia diciptakan dengan maksud tertentu yang telah ditentukan oleh Tuhan. “Tidak mungkin Tuhan menciptakan kita sembarangan saja.” Rene lantas menyebut, bahwa ia merasa bahwa dirinya diciptakan dengan suatu “tugas”. Dari sinilah pencarian demi pencarian dilakukannya. Semua itu mengantarnya untuk kemudian menjadi seorang career coach yang memiliki pandangan unik seputar karier. Dan, dari perjalanan panjang itulah, ia menemui bahwa proses perjalanan kehidupannya masih panjang dan terus mengalami berbagai pencarian. Rene juga mengaku, pengalaman itu kemudian menginspirasinya hingga kemudian membuatnya “berkenalan” lebih jauh dengan passion dan purpose dalam hidup. Dua hal inilah yang kemudian ditularkannya ke mana-mana, sebagai wujud pengabdiannya untuk menginspirasi orang.

Melalui proses itulah, ia kini dengan “gampang” menemui kebahagiaan. “Esensi bahagia nggak  usah dikejar, karena bahagia itu urusan kini dan sini; bukan nanti, tapi sekarang,” sebutnya ringan.

Bahagia Versi Rene


 
Sosok Rene sendiri memang terlihat selalu ceria. Bagi yang baru kali pertama mengenal, akan segera mudah mengakrabinya. “Syarat pertama untuk wawancara dengan saya jangan panggil saya dengan 'Pak', Rene saja. Lebih senang begitu,” ungkapnya sebelum memulai perbincangan dengan tim redaksi Majalah LuarBiasa, sehingga keakraban pun segera terjalin.

Bisa dibilang, Rene mengubah “sekadar” wawancara menjadi “kebahagiaan” dengan versinya. Kadang, guyonan ringan pun terlontar dari kisahnya. Sebuah kisah dituturkannya, untuk menggambarkan betapa bahagia itu mudah didapat di mana saja. Disebutnya, ada seorang sangat kaya bertemu dengan gelandangan yang sedang rileks, sembari bersiul dan menikmati hidupnya. Terbiasa bekerja keras, maka si kaya menyapa si gelandangan dan menyuruhnya agar mengubah nasib dengan bersekolah yang tinggi, kemudian bekerja, mengejar jabatan, membangun usahanya sendiri, hingga akhirnya nanti akan bisa bersantai setelah mendapatkan semuanya. Dengan santai, si gelandangan menjawab, jika semua itu ujungnya hanya untuk bersantai, dia sendiri saat ini merasa sudah santai, rileks, dan mendapatkan kebahagiaan dengan caranya.

Melalui kisah tersebut, Rene hendak bertanya sekaligus memperkuat “analisis”-nya, yakni bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan sebenarnya sangat sederhana. “Tak usah dicari ke mana-mana, karena sejatinya bahagia itu sudah ada dalam diri. Tinggal, bagaimana keputusan kita sendiri untuk memaknai bahagia seperti apa,” tegasnya. “Bagi saya kenikmatan tertinggi adalah ketika kita tahu siapa kita. Kapan bisa discover ourself, kapan menemukan diri sendiri, bagaimana bisa menemukan clarity akan ke mana, bukan tujuannya, tapi clarity-nya. Tapi memang harus diakui, lebih mudah mengenali orang pakai Mercedes yang lebih mewah dari Avanza. Orang tinggal di Kebayoran Baru lebih keren dari di Jiung (Kemayoran), dan seterusnya. Jadi yang mudah sering kali menutupi yang esensi. Karena itu, jangan hanya kita berserah dengan yang mudah, tapi harus mencari  what really matters dalam hidup, maka kita akan banyak menemukan kebahagiaan.”

Begitulah, Rene dengan gampang “menyindir” stigma lingkungan yang kadang menjerumuskan pada kebahagiaan semu. Pangkat, jabatan, kekayaan, menurutnya memang tak salah untuk dikejar. Namun sebenarnya, ada yang jauh lebih penting untuk diwujudkan, yakni menyelami diri sendiri. “Dalam konsep ini bukan menjadi  becoming the best, tapi menjadi yourself best. Menjadi diri kita sebaik-baiknya. Bagi saya, sukses sebenarnya kalau seseorang itu serve the need of the world. Sukses itu adalah ketika dia menjadi dirinya yang terbaik dan dia melayani kebutuhan dunia (tanpa itu, artinya moral ground masih belum ada; dalam melakukan apa pun, tidak peduli sesukses apa pun, Anda dibilang orang lain).”

sumber : www.andriewongso.com

Local Wisdom Go Global

Hingga usianya melebihi 40 tahun, Martha Tilaar belum juga dikaruniai anak. Berbagai usaha sudah dilakukan, namun tak juga membuahkan hasil. Bahkan, penderitaannya menjadi-jadi saat dokter kandungan memberikan ultimatum menyakitkan. “Pada usia pernikahan ke-16, yaitu di usia ke-42, saya divonis bahwa kemungkinan besar saya tidak akan memperoleh anak seumur hidup. Hati saya sedih dan hancur. Perempuan mana yang mau menerima vonis tersebut,” katanya. Vonis itu tak sembarangan karena dikemukakan oleh empat orang ahli kandungan yang bergelar profesor.

Pulang ke rumah dengan kesedihan yang mendalam, ia kemukakan unek-uneknya pada suami tercinta, Prof. Dr. Henry Alexis Rudolf Tilaar. “Prof (saat itu suaminya sudah profesor), silakan prof cari istri lagi,” katanya. Mungkin karena ia kasihan pada sang suami yang tentunya memiliki keinginan punya anak, sedangkan itu tak mungkin didapat dari rahimnya.

Tak dinyana, Prof Henry Tilaar, mengaku sudah punya istri baru. Bahkan kemudian mengajaknya berkenalan. Dengan santai Henry mengajak Martha ke perpustakaan pribadi di rumah. “Inilah istri saya yang baru, yaitu buku-buku,” ujar Martha Tilaar menirukan ucapan sang suami dalam pidato pengukuhan gelar Perekayasa Utama Kehormatan (PUK) dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 13 September 2012. Buku-buku itulah yang justru menginspirasinya kemudian. Martha kemudian melupakan vonis menyakitkan itu. Ia lalu berkutat dengan buku-buku kecantikan. Ia pergi ke museum untuk mencari buku-buku kuno yang menjabarkan khasiat-khasiat ramuan warisan nenek moyang. Selain itu, ia juga mendapat bimbingan langsung dari neneknya yang ahli dalam ramuan tradisional.

“Eyang Putri saya terkenal ahli dalam hal jamu, beliau yang kemudian merawat saya agar bisa mendapat keturunan,” katanya. Neneknya merawat Martha secara intensif. Selain memberi jamu-jamuan juga mengurutnya. “Beliau mengurut, memberi parem, dan meramu jamu penyubur untuk saya minum,” tuturnya.

Akhirnya, upaya keras sang nenek dan keyakinan yang terus tumbuh di dalam hati Martha Tilaar, membuahkan hasil. Saat usianya 42 tahun, ia dinyatakan hamil. Namun karena ia mulai mengandung di usia yang terbilang tua untuk kehamilan pertama, ada sejumlah ahli kandungan yang mengkhawatirkan bayinya kelak akan lahir dengan sejumlah kekurangan. “Nyatanya, ketika anak saya lahir di usia saya yang ke-43, anak saya lahir sangat cantik,” katanya. Itu adalah momen paling membahagiakan dalam hidupnya.

“Pengalaman ini semakin memacu tekad saya untuk menggunakan bahan-bahan alam Indonesia sebagai bahan baku dalam produk kesehatan dan kosmetik alami,” ujarnya. Ia lalu memproduksi jamu penyubur warisan sang nenek yang kemudian diberi nama Wulandari, sesuai nama anak pertamanya. Banyak orang yang merasa tertolong dengan ramuan ini. Tak hanya perempuan Indonesia, tetapi banyak juga perempuan asing. Mereka menjadi subur dan punya anak setelah meminum jamu Wulandari. Dari sinilah bisnis jamu Martha Tilaar dimulai. “Saya memulai usaha ini dengan sesuatu (modal) yang besar, yaitu tekad. Tekad saya adalah mengangkat kearifan lokal bangsa Indonesia menjadi mendunia, khususnya dalam bidang kesehatan dan kosmetika alami. Local Wisdom Go Global!” katanya.

Foto: Dok. BPPT
sumber : www.andriewongso.com

Sikap Pemimpin Mengatasi Kegagalan

Abdul Kalam adalah seorang ilmuwan dan insinyur terkemuka India yang pernah menjabat sebagai presiden India yang ke-11 periode 2002-2007. Ketika masih sangat aktif menjadi ilmuwan, dia punya kesempatan belajar bagaimana memimpin yang baik dan turut membekalinya menjadi seorang pemimpin tertinggi di negerinya. Beginilah pengalamannya.

Pada tahun 1973, saya menjadi direkur proyek program kendaraan peluncur satelit India, yang umumnya disebut SLV-3. Tujuan kami saat itu adalah menempatkan satelit India “Rohini” ke orbitnya pada tahun 1980. Saya diberikan dana dan sumber dayanya—tapi juga ada targetnya yang sangat jelas, yaitu pada tahun 1980, kami harus bisa meluncurkan satelit ke luar angkasa. Ribuan orang bekerja bersama dalam tim ilmiah dan teknis demi tujuan itu.
 
Pada tahun 1979, sepertinya waktu itu bulan Agustus, kami pikir kami sudah siap. Sebagai direktur proyek, saya pergi ke pusat kontrol dan pengendalian peluncuran. Empat menit sebelum satelit diluncurkan, komputer mulai mengecek daftar tahapan persiapan peluncuran. Satu menit kemudian, program peluncuran tiba-tiba tidak aktif; tampilannya menunjukkan bahwa sebagian komponen pengendali tidak berfungsi. Para tenaga ahli saya—ada sekitar empat atau lima orang—berkata agar saya tidak perlu khawatir karena mereka sudah melakukan perhitungan secara cermat dan masih ada bahan bakar cadangan yang cukup. Maka, saya abaikan tampilan di komputer itu, memindahkan ke mode manual, dan meluncurkan roket. Pada tahap awal, semuanya berjalan lancar. Masuk ke tahap kedua, alih-alih satelit meluncur ke orbit, seluruh sistem roket jatuh ke Teluk Bengal. Proyek itu gagal total.
 
Hari itu, Ketua Organisasi Penelitian Luar Angkasa India (the Indian Space Research Organization), Prof. Satish Dhawan, menggelar konferensi pers. Peluncuran berlangsung pada jam 7 pagi, dan konferensi pers yang dihadiri para wartawan dari seluruh dunia, diadakan pada pukul 7.45 di tempat peluncuran satelit milik ISRO di Sriharikota (yang terletak di Andhra Pradesh di sebelah selatan India). Prof. Dhawan, pemimpin organisasi, memimpin konferensi pers itu seorang diri. Dia mengambil tanggung jawab atas kegagalan itu—dia menyatakan bahwa tim sudah bekerja sangat keras, tapi ternyata proyek ini masih membutuhkan dukungan teknologi yang lebih canggih lagi. Dia meyakinkan media bahwa di tahun berikutnya, tim akan benar-benar sukses. Kalau dipikir-pikir lagi, sayalah direktur proyek ini dan semua ini sebenarnya adalah kegagalan saya. Tapi Prof. Dhawan malah bersedia mengambil alih tanggung jawab atas kegagalan sebagai ketua organisasi.


Pada tahun berikutnya, tepatnya Juli 1980, kami mencoba kembali meluncurkan satelit—dan kali ini kami berhasil. Seluruh negeri bersorak gembira. Sekali lagi, digelarlah konferensi pers. Tapi kali ini Prof. Dhawan memanggil saya dan berkata, “Kau yang memimpin konferensi pers hari ini.”
 
Saat itu saya mendapat sebuah pelajaran yang sangat penting. Ketika terjadi kegagalan, pemimpin organisasi yang bertanggung jawab atas kegagalan itu. Tapi begitu sukses berhasil dicapai, dia memberikan itu pada timnya. Pelajaran manajemen terbaik yang saya pelajari bukan berasal dari buku teks, tapi malah melalui pengalaman.

Keluarga adalah Hal Terpenting

Bill Havens, seorang pendayung hebat kelas dunia, dalam masa karantinanya menjelang kejuaraan dunia mendayung, menerima berita bahwa istrinya akan segera melahirkan. Setelah mendengar kabar tersebut, ia memilih untuk pulang dan tidak mengikuti kejuaraan dunia. Ia memutuskan untuk menunggui istrinya yang akan melahirkan.

Belasan tahun kemudian, tepatnya tahun 1952. Bill menerima telegram dari putranya, Frank yang pada saat itu baru saja memenangkan medali emas kano 10.000 meter pada Olimpiade di Finlandia.

Telegram itu isinya, "Ayah, terima kasih karena telah menunggu kelahiran saya. Saya akan pulang membawa medali emas yang seharusnya ayah menangkan beberapa tahun yang lalu. Anakmu tersayang, Frank."

Frank HavensDari kisah di atas kita bisa belajar tentang makna besar di balik kata "keluarga". Pada akhirnya kita akan sampai pada suatu titik, di mana pada dasarnya apa pun yang kita lakukan, semua jerih payah kita dalam pekerjaan itu untuk keluarga yang kita cintai. Kebersamaan di antara keluarga adalah hal yang penting.

• Jika kita penjual: Keluarga adalah konsumen utama kita.
• Jika kita karyawan: Keluarga adalah bos kita yang sesungguhnya.
• Jika kita investor: Investasi yang paling berharga adalah nilai-nilai yang ditanam dalam keluarga kita.

Pastikan ketika kita di posisi puncak kesuksesan, kita mengibarkan bendera kemenangan dengan pelukan keluarga di sekitar kita.

Selamat berkumpul dalam kehangatan keluarga yang selalu mencintai kita.


sumber : www.andriewongso.com

Hal Mustahil Perlu Waktu Sedikit Lebih Lama

Art Berg adalah atlet berbakat yang memiliki masa depan cerah. Ia punya perusahaan konstruksi dan seorang tunangan yang baik dan cantik. Pada Desember 1983, dalam perjalanan menuju rumah tunangannya di Utah untuk menuntaskan acara pernikahan mereka, karena perjalanan panjang, ia lelah dan mengantuk hingga mobilnya menabrak tiang pembatas jalan dan terjun ke jurang. Ia terlempar dari mobil dan jatuh ke tanah dengan leher patah. Akibatnya ia lumpuh dari dada ke bawah dan tidak bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Dokter berkata ia tidak akan pulih dari kelumpuhan. Teman-temannya menasihatinya agar ia melupakan pernikahannya.

Art Berg takut dan putus asa. Namun ibunya datang dan berbisik, "Nak, hal sulit membutuhkan waktu. Hal mustahil perlu waktu sedikit lebih lama." Karena kata-kata itu, harapannya muncul kembali. Ia berlatih keras hingga akhirnya bisa mandiri. Singkat cerita, sebelas tahun kemudian ia kembali memimpin perusahaannya sendiri, bisa menyetir dan berolahraga, serta menikah dengan tunangannya dan punya dua anak. Belakangan ia menjadi pembicara profesional dan penulis buku yang mendorong dan memotivasi banyak orang.
 
Art Berg meninggal dunia pada Februari 2002. Namun kisah perjuangannya telah menginspirasi begitu banyak orang. 
 
Kadang-kadang sesuatu tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Jika kita saat ini mengalami hal itu, jangan putus asa! Hal sulit membutuhkan waktu. Hal mustahil perlu waktu sedikit lebih lama. Orang yang bertahan sampai akhir,  serta memiliki semangat berjuang yang tinggi, maka dia akan jadi PEMENANG.

Keberhasilan dicapai bukan berasal dari hasil akhir namun dari proses yang menyertainya.
Semoga Tuhan menuntun kita dalam setiap proses untuk mencapai keberhasilan.


sumber : www.andriewongso.com

Minggu, 18 November 2012

Sikap Pemimpin Mengatasi Kegagalan

Abdul Kalam adalah seorang ilmuwan dan insinyur terkemuka India yang pernah menjabat sebagai presiden India yang ke-11 periode 2002-2007. Ketika masih sangat aktif menjadi ilmuwan, dia punya kesempatan belajar bagaimana memimpin yang baik dan turut membekalinya menjadi seorang pemimpin tertinggi di negerinya. Beginilah pengalamannya.

Pada tahun 1973, saya menjadi direkur proyek program kendaraan peluncur satelit India, yang umumnya disebut SLV-3. Tujuan kami saat itu adalah menempatkan satelit India “Rohini” ke orbitnya pada tahun 1980. Saya diberikan dana dan sumber dayanya—tapi juga ada targetnya yang sangat jelas, yaitu pada tahun 1980, kami harus bisa meluncurkan satelit ke luar angkasa. Ribuan orang bekerja bersama dalam tim ilmiah dan teknis demi tujuan itu.

Pada tahun 1979, sepertinya waktu itu bulan Agustus, kami pikir kami sudah siap. Sebagai direktur proyek, saya pergi ke pusat kontrol dan pengendalian peluncuran. Empat menit sebelum satelit diluncurkan, komputer mulai mengecek daftar tahapan persiapan peluncuran. Satu menit kemudian, program peluncuran tiba-tiba tidak aktif; tampilannya menunjukkan bahwa sebagian komponen pengendali tidak berfungsi. Para tenaga ahli saya—ada sekitar empat atau lima orang—berkata agar saya tidak perlu khawatir karena mereka sudah melakukan perhitungan secara cermat dan masih ada bahan bakar cadangan yang cukup. Maka, saya abaikan tampilan di komputer itu, memindahkan ke mode manual, dan meluncurkan roket. Pada tahap awal, semuanya berjalan lancar. Masuk ke tahap kedua, alih-alih satelit meluncur ke orbit, seluruh sistem roket jatuh ke Teluk Bengal. Proyek itu gagal total.

Hari itu, Ketua Organisasi Penelitian Luar Angkasa India (the Indian Space Research Organization), Prof. Satish Dhawan, menggelar konferensi pers. Peluncuran berlangsung pada jam 7 pagi, dan konferensi pers yang dihadiri para wartawan dari seluruh dunia, diadakan pada pukul 7.45 di tempat peluncuran satelit milik ISRO di Sriharikota (yang terletak di Andhra Pradesh di sebelah selatan India). Prof. Dhawan, pemimpin organisasi, memimpin konferensi pers itu seorang diri. Dia mengambil tanggung jawab atas kegagalan itu—dia menyatakan bahwa tim sudah bekerja sangat keras, tapi ternyata proyek ini masih membutuhkan dukungan teknologi yang lebih canggih lagi. Dia meyakinkan media bahwa di tahun berikutnya, tim akan benar-benar sukses. Kalau dipikir-pikir lagi, sayalah direktur proyek ini dan semua ini sebenarnya adalah kegagalan saya. Tapi Prof. Dhawan malah bersedia mengambil alih tanggung jawab atas kegagalan sebagai ketua organisasi.


Pada tahun berikutnya, tepatnya Juli 1980, kami mencoba kembali meluncurkan satelit—dan kali ini kami berhasil. Seluruh negeri bersorak gembira. Sekali lagi, digelarlah konferensi pers. Tapi kali ini Prof. Dhawan memanggil saya dan berkata, “Kau yang memimpin konferensi pers hari ini.”

Saat itu saya mendapat sebuah pelajaran yang sangat penting. Ketika terjadi kegagalan, pemimpin organisasi yang bertanggung jawab atas kegagalan itu. Tapi begitu sukses berhasil dicapai, dia memberikan itu pada timnya. Pelajaran manajemen terbaik yang saya pelajari bukan berasal dari buku teks, tapi malah melalui pengalaman.

sumber : www.andriewongso.com

Air Minum di Hutan

Alkisah, seorang pria tersesat di hutan yang sangat gersang. Ia sempoyongan karena hampir mati kehausan. Tak disangka, ia bertemu dengan sebuah rumah kosong. Di depan rumah tua tanpa jendela dan hampir roboh itu, terdapat sebuah pompa air. Segera ia menuju pompa itu dan mulai memompa sekuat tenaga. Tapi, tidak ada air yang keluar.

Lalu ia melihat ada kendi kecil di sebelah pompa itu dengan mulutnya tertutup gabus dan tertempel kertas dengan tulisan, ”Sahabat, pompa ini harus dipancing dengan air dulu.. Setelah mendapatkan airnya, mohon jangan lupa mengisi kendi ini lagi sebelum pergi.” Pria itu mencabut gabusnya dan ternyata kendi itu berisi penuh air.

“Apakah air ini harus dipergunakan untuk memancing pompa? Bukankah lebih aman saya minum airnya dulu? Daripada nanti mati kehausan, kalau ternyata pompanya tidak berfungsi. Untuk apa menuangkan air sebanyak ini ke pompa karatan hanya karena instruksi di atas kertas kumal yang belum tentu benar?” Begitu pikirnya.

Untung suara hatinya mengatakan bahwa ia harus mencoba mengikuti nasihat yang tertera di kertas itu, sekali pun berisiko. Lantas, ia menuangkan seluruh isi kendi itu ke dalam pompa yang karatan tersebut dan dengan sekuat tenaga memompanya.

Benar!! Air keluar dengan melimpah. Pria itu minum sepuasnya.

Setelah istirahat memulihkan tenaga dan sebelum meninggalkan tempat itu, ia mengisi kendi itu sampai penuh, menutupkan kembali gabusnya dan menambahkan beberapa kata di bawah instruksi pesan itu: “Saya telah melakukannya dan berhasil. Engkau harus berkorban terlebih dahulu sebelum bisa menerima kembali secara melimpah. PERCAYALAH!! Inilah kebenaran hukum alam.”

Kawan semua,

Hidup ini, tidak selalu harus menerima, baru memberi.  Tetapi ada kalanya, bahkan seringkali, kita harus memberi dulu, baru menerima. Bukan seperti kata-kata dalam bahasa Inggris yang populer dan sering kita dengar: “Take and Give” (mendapatkan dan memberi) tetapi seharusnya “give and take” (memberi dan mendapatkan).

Dalam kehidupan ini, sebenarnya sumber kebahagiaan  adalah memberi (baik memberi layanan, pertolongan, perjuangan, atau pengorbanan). Barulah kita akan menikmati apa-apa yang pantas kita dapatkan.

Mari, miliki inisiatif untuk memberi dan memberi terlebih dahulu. Maka anugerah terindah pasti disuguhkan kepada kita.


sumber : www.andriewongso.com

Kamis, 15 November 2012

kisah teladan kejujuran syekh abdul qadir al jaelani



kisah teladan ini menceritakan kejujuran dan ketaatan syekh abdul qadir al jaelani q.s pada ibunya sampai dia tidak mau melanggar amanat ibunya kepada beliau dalam keadaan apapun.dan cerita ini di ambil dari kitab manakibnya tuan syekh abdul qadir al jaelani.q.s

kisah ini berawal ketika syekh abdul qadir al jaelani masih muda ketika itu beliau sedang menggembalakan unta di gurun dan atas kekuasaan alloh unta yang sedang di gembalakannya bicara kepada beliau,"hai abdul qadir engkau di ciptakan alloh bukan untuk menjadi seorang penggembala" dan abdul qadir al jaelani pun merasa heran dengan kejadian itu lalu dia pun memberitahukan kepada ibunya kejadian yang dialaminya itu

singkatnya abdul qadir al jaelani pun meminta ijin kepada ibunya untuk menuntut ilmu agama ke bagdad.mendengar niat anaknya begitu ibunya pun merasa senang dan mengijinkannya untuk menimba ilmu agama kepada ulama-ulama besar di bagdad.dan ibunya pun berpesan pada anaknya,"wahai abdul qadir ibu meminta kepada kamu untuk berlaku jujur dalam tindakan dan ucapan selama kamu menimba ilmu disana,dan ibu memberikan bekal kepada kamu warisan dari ayahmu uang sebanyak 200dinar untuk bekal kamu selama kamu disana.

apabila nanti ada rombongan pengusaha yang akan pergi kesana alangkah baiknya kamu ikut rombongan itu.dan abdul qadir pun pergi dengan ridha ibunya.ditengah perjalan ada sekelompok gerombolan perampok yang menghadang rombongan syekh abdul qadir dan para pengusaha.kelompok gerombolan ini terkenal bengis dan sadis.dan satu persatu harta yang dibawa para rombongan pun di rampas.

dan pada saat salah satu anggota perampok mendekati abdul qadir ,ia pun bertanya kepada abdul qadir,"hai anak muda harta apa yang kamu miliki dan abdul qadir pun menjawab aku punya uang 200dinar,yang di simpan di bawah ketiaknya,dilalah anehnya orang yang bertanya tadi malah tertawa dan tidak percaya bahwa tampang seperti ini memiliki harta 200 dinar dan berkata jujur.

dan beliau pun di suruh pergi,dan bertemu lagi dengan anggota rampok yang lain dan ditanya lagi seperti pertanyaan tadi. dan orang ini pun tidak mempercayainya.dan pada akhirnya kepala rampoknya mendengar bahwa ada anak muda yang mengaku memiliki harta 200dinar tapi tidak ada yang percaya.dan disuruhlah abdul qadir untuk menghadap kepada kepala rampok.dan kepala rampok tadi menanyakan pertanyaan sama dengan anak buahnya.dan abdul qadir pun menjawab dengan jawaban yang sama dan membuktikan bahwa dia memang memiliki uang 200dinar.

ketika melihat kebenaran dan kejujuran dengan anak muda ini (syekh abdul qadir al jaelani q.s.)sedikit kaget dan tercengang lalu dia pun bertanya kepada beliau mengapa engkau mau berkata jujur padahal dalam situasi serba susah begini.dan abdul qadir pun menjawab " saya tidak ingin melanggar janji saya pada ibu saya dan saya tidak ingin membuat ibu saya merasa kecewa" dan kepala rampok tersebut menanyakan kembali memang kamu telah berjanji apa pada ibu kamu padahal ibumu tidak akan mengetahuinya.lalu abdul qadir pun menjawab" ibu saya mewasiatkan kepada saya untuk berlaku jujur dalam bertingkah laku dan berbicara walau dalam keadaan apapun"

mendengar penjelasan abdul qadir si kepala rampok pun merasa terharu dan menangis di hadapan beliau karena merasa malu pada sikap abdul qadir (yang pada waktu itu masih muda) yang  tidak berani melanggar janji pada ibunya ,sedangkan dia dan anak buahnya sudah sering dan banyak melanggar aturan alloh, dan bagaimana alloh sangat membencinya .

karena ketauladan beliau dan kejujurannya maka kepala rampok pun bertaubat di hadapan syekh abdul qadir dan berjanji tidak akan melakukan perbuatan yang di larang alloh dan merugikan banyak orang.dan hasil rampokannya pun dikembalikan kepada pemiliknya. 

sumber : http://petualang-web.blogspot.com

Khalifah Umar Dan Gadis Jujur (Kisah teladan)


Bissmillahirrohmaan irrohiim



Khalifah Umar bin Khattab sering melakukan ronda malam sendirian. Sepanjang malam ia memeriksa keadaan rakyatnya langsung dari dekat. Ketika melewati sebuah gubuk, Khalifah Umar merasa curiga melihat lampu yang masih menyala.



Di dalamnya terdengar suara orang berbisik-bisik.

Khalifah Umar menghentikan langkahnya. Ia penasaran ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Dari balik bilik Kalifah umar mengintipnya. Tampaklah seorang ibu dan anak perempuannya sedang sibuk mewadahi susu.



"Bu, kita hanya mendapat beberapa kaleng hari ini," kata anak perempuan itu.



"Mungkin karena musim kemarau, air susu kambing kita jadi sedikit."

"Benar anakku," kata ibunya.



"Tapi jika padang rumput mulai menghijau lagi pasti kambing-kambing kita akan gemuk. Kita bisa memerah susu sangat banyak," harap anaknya.



"Hmmm....., sejak ayahmu meninggal penghasilan kita sangat menurun. Bahkan dari hari ke hari rasanya semakin berat saja. Aku khawatir kita akan kelaparan," kata ibunya.



Anak perempuan itu terdiam. Tangannya sibuk membereskan kaleng-kaleng yang sudah terisi susu.



"Nak," bisik ibunya seraya mendekat. "Kita campur saja susu itu dengan air. Supaya penghasilan kita cepat bertambah."



Anak perempuan itu tercengang. Ditatapnya wajah ibu yang keriput. Ah, wajah itu begitu lelah dan letih menghadapi tekanan hidup yang amat berat. Ada rasa sayang yang begitu besar di hatinya. Namun, ia segera menolak keinginan ibunya.



"Tidak, bu!" katanya cepat.



"Khalifah melarang keras semua penjual susu mencampur susu dengan air." Ia teringat sanksi yang akan dijatuhkan kepada siapa saja yang berbuat curang kepada pembeli.



"Ah! Kenapa kau dengarkan Khalifah itu? Setiap hari kita selalu miskin dan tidak akan berubah kalau tidak melakukan sesuatu," gerutu ibunya kesal.



"Ibu, hanya karena kita ingin mendapat keuntungan yang besar, lalu kita berlaku curang pada pembeli?"



"Tapi, tidak akan ada yang tahu kita mencampur susu dengan air! Tengah malam begini tak ada yang berani keluar. Khalifah Umar pun tidak akan tahu perbuatan kita," kata ibunya tetap memaksa.



"Ayolah, Nak, mumpung tengah malam. Tak ada yang melihat kita!"



"Bu, meskipun tidak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui kita mencampur susu dengan air, tapi Allah tetap melihat. Allah pasti mengetahui segala perbuatan kita serapi apa pun kita menyembunyikannya, "tegas anak itu. Ibunya hanya menarik nafas panjang.



Sungguh kecewa hatinya mendengar anaknya tak mau menuruti suruhannya. Namun, jauh di lubuk hatinya ia begitu kagum akan kejujuran anaknya.



"Aku tidak mau melakukan ketidak jujuran pada waktu ramai maupun sunyi. Aku yakin Allah tetap selalu mengawasi apa yang kita lakukan setiap saat,"kata anak itu.



Tanpa berkata apa-apa, ibunya pergi ke kamar. Sedangkan anak perempuannya menyelesaikan pekerjaannya hingga beres.

Di luar bilik, Khalifah Umar tersenyum kagum akan kejujuran anak perempuan itu.



" Sudah sepantasnya ia mendapatkan hadiah!" gumam khalifah Umar. Khalifah Umar beranjak meniggalkan gubuk itu.Kemudian ia cepat-cepat pulang ke rumahnya.



Keesokan paginya, khalifah Umar memanggil putranya, Ashim bin Umar. Di ceritakannya tentang gadis jujur penjual susu itu.



" Anakku, menikahlah dengan gadis itu. Ayah menyukai kejujurannya, " kata khalifah Umar. " Di zaman sekarang, jarang sekali kita jumpai gadis jujur seperti dia. Ia bukan takut pada manusia. Tapi takut pada Allah yang Maha Melihat."



Ashim bin Umar menyetujuinya.



Beberapa hari kemudian Ashim melamar gadis itu. Betapa terkejut ibu dan anak perempuan itu dengan kedatangan putra khalifah. Mereka mengkhawatirkan akan di tangkap karena suatu kesalahan.



" Tuan, saya dan anak saya tidak pernah melakukan kecurangan dalam menjual susu. Tuan jangan tangkap kami....," sahut ibu tua ketakutan.

Putra khalifah hanya tersenyum. Lalu mengutarakan maksud kedatangannya hendak menyunting anak gadisnya.



"Bagaimana mungkin?



Tuan adalah seorang putra khalifah , tidak selayaknya menikahi gadis miskin seperti anakku?" tanya seorang ibu dengan perasaan ragu.



" Khalifah adalah orang yang tidak membedakan manusia. Sebab, hanya ketawakalanlah yang meninggikan derajad seseorang disisi Allah," kata Ashim sambil tersenyum.



" Ya. Aku lihat anakmu sangat jujur," kata Khalifah Umar.

Anak gadis itu saling berpandangan dengan ibunya.

Bagaimana khalifah tahu? Bukankah selama ini ia belum pernah mengenal mereka.



" Setiap malam aku suka berkeliling memeriksa rakyatku. Malam itu aku mendengar pembicaraan kalian...," jelas khalifah Umar.



Ibu itu bahagia sekali. Khalifah Umar ternyata sangat bijaksana. Menilai seseorang bukan dari kekayaan tapi dari kejujurannya.

Sesudah Ashim menikah dengan gadis itu, kehidupan mereka sangat bahagia. Keduanya membahagiakan orangtuanya dengan penuh kasih sayang. Bebrapa tahun kemudian mereka dikaruniai anak dan cucu yang kelak akan menjadi orang besar dan memimpin bangsa Arab.

Sumber Kisah kisah Teladan

Kisah Harimau dan Prajurit


Alkisah, di sebuah kerajaan, sang raja mempunyai kegemaran yang tidak lazim, yakni mengukur kekuatan prajuritnya dengan cara mengadu mereka di arena aduan dengan binatang buas. Banyak tentara yang mati sia-sia karena kesenangan yang mengerikan dari raja mereka. Tetapi, tidak ada seorang pun yang berani menentangnya. Karena, menentang perintah raja berarti mati! 

Suatu ketika, hari aduan kembali tiba. Telah disiapkan prajurit dan hewan buas. Dari kejauhan, terdengar suara raungan marah dan lapar seekor harimau, sehingga membuat siapa pun yang mendengar menjadi ciut nyalinya, apalagi prajurit yang akan diadu.

Setelah sang raja duduk di tempatnya, seorang prajurit pun melangkah memasuki arena aduan dengan kepasrahan sembari berdoa, siapa tahu keberuntungan memihaknya hingga tak perlu meregang nyawa. Tak berapa lama, pintu kandang harimau pun dibuka. Segera si harimau mengaum sambil melangkahkan kakinya masuk ke arena dengan sikap waspada.

Beberapa saat, aroma ketegangan pun menghiasi suasana. Si prajurit segera menyiapkan diri untuk mempertahankan diri dari serangan harimau. Namun, sebuah keanehan terjadi. Harimau yang terlihat ganas bukannya segera menyerang dan siap memakan mangsanya, tetapi dia malah berputar mengendus-endus mengitari si prajurit tanpa menunjukkan sikap bermusuhan sama sekali.

Anehnya lagi, harimau justru berusaha mendekat ke prajurit yang tadi sudah siap melawan harimau. Prajurit makin terheran dengan tindakan harimau yang lantas menjulurkan lidahnya dan menjilat kaki si prajurit tanpa bermaksud menyakiti sedikit pun. Arena aduan pun menjadi heboh.

Raja segera memerintahkan membawa si prajurit ke hadapannya. "Hai prajurit! Apa yang telah kamu lakukan kepada harimau kelaparan itu sehingga dia tidak melahapmu, malah seakan dia tunduk dan menghormatimu? Ilmu apa gerangan yang kamu pakai? Segera beritahu rajamu ini," perintah sang raja.

"Ampun baginda. Hamba juga tidak mengerti apa yang terjadi. Hamba hanya pasrah sembari bersiap menghadapi kemungkinan terburuk yang terjadi. Tetapi, setelah melihat harimau yang tiba-tiba mendekati tanpa terlihat ingin menyerang, hamba juga segera menghentikan niat hamba mempertahankan diri.

Saat itu, kemudian hamba teringat sebuah peristiwa. Dahulu sekali, hamba pernah menyelamatkan dan mengobati seekor harimau kecil yang sedang diburu dan terluka. Dan sangat mungkin, harimau kecil itu adalah harimau yang sama yang ada di arena tadi. Kebaikan masa lalu yang telah hamba perbuat dan tidak pernah hamba ingat, ternyata telah menyelamatkan hidup hamba hari ini."


Pembaca yang luar biasa,

Kisah di atas adalah gambaran nyata dari pepatah "kita menuai apa yang kita tanam." Dan, meski cerita tadi sulit dipercaya, tetapi peristiwa semacam itu bisa terjadi di kehidupan nyata. Semua hal tersebut berhubungan dengan hukum universal tentang sebab-akibat. Walaupun kita lupa pernah berbuat baik kepada orang lain, tapi hukum Tuhan tidak pernah lupa. Pada saatnya kelak, kita pasti akan menerima kebaikan-kebaikan yang sepadan, bahkan melebihi apa yang pernah kita lakukan.

Begitu juga sebaliknya. Kita boleh saja lupa pernah berbuat jahat pada orang lain. Namun, bila saatnya telah tiba, kita pasti akan menerima ganjaran yang setimpal dengan perbuatan kita. Hal tersebut sejalan dengan keyakinan dan ajaran yang harus kita praktikkan, yaitu menjauhkan diri dari berbuat kejahatan yang merugikan orang lain dan selalu berbuat baik dan membantu sesama makhluk.

Untuk itu, mari terus menanamkan benih kebaikan di setiap kesempatan yang ada, baik pada lingkungan terdekat kita maupun pada sesama. Niscaya, kita akan mampu menjalani hidup dengan penuh kedamaian, kebahagiaan, dan keharmonisan.


sumber : www.andriewongso.com

Kesempatan Kedua


Alkisah, di kesepian malam, tampak seorang pemuda berwajah tampan sedang memacu laju kendaraannya. Karena kantuk dan lelah yang mendera, tiba-tiba ia kehilangan kesadarannya dan gubraaak.....mobil yang dikendarainya melintasi trotoar dan berakhir dengan menabrak sebuah pohon besar.

Karena benturan yang keras di kepala, si pemuda sempat koma dan dirawat di rumah sakit. Saat kesadarannya mulai kembali, terdengar erangan perlahan. "Aduuuh...kepalaku sakit sekali. Kenapa badanku tidak bisa digerakkan. Oh..ada di mana ini?". Nanar, tampak bayangan bundanya sedang menangis, memegangi tangan dan memanggil-manggil namanya.

Lewat beberapa hari, setelah kesadarannya pulih kembali, ia baru tahu kalau mobil yang dikendarainya ringsek tidak karuan bentuknya dan melihat kondisi mobil, seharusnya si pengemudi pasti meninggal dunia. Ajaibnya, dia masih hidup (walaupun mengalami gegar otak lumayan parah, tulang paha yang patah menjadi enam, dan memar di sana-sini; hal ini membuatnya harus menjalani operasi dan proses terapi penyembuhan yang lama dan menyakitkan).

Saat pamannya datang menjenguk, si pemuda menggerutu tidak puas pada kehidupannya, "Dunia sungguh tidak adil! Sedari kecil aku sudah ditinggal oleh ayahku. Walaupun aku tidak pernah hidup berkekurangan tetapi teman-temanku jauh lebih enak hidupnya. Gara-gara Bunda membelikan mobil jelek, aku jadi celaka bahkan kini cacat pula wajah ini. Oh...sungguh sial hidupku.."

Pamannya yang kenal si pemuda sedari kecil menegur keras, "Anak muda. Wajahmu rupawan tetapi jiwamu ternyata tidak. Bundamu bekerja keras selama ini hingga hidupmu berkecukupan. Lihatlah sekelilingmu, begitu banyak orang yang tidak seberuntung kamu. Tidak perlu menyalahkan orang lain. Kecelakaan ini karena kesalahanmu sendiri! Pernahkan kamu pikirkan, seandainya kecelakaan itu merenggut nyawamu, bekal apa yang kamu bawa untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatanmu di hadapan Sang Khalik? Tuhan begitu baik, memberi kesempatan kedua kepadamu untuk hidup lebih lama. Itu artinya, kamu harus hidup lebih baik! Apakah kamu mengerti?"

Si pemuda terpana sesaat dan lirih menjawab, "Terima kasih paman. Saya akan mengingat nasihat paman. Biarlah luka di wajah ini sebagai pengingat agar aku tahu diri dan mampu untuk bersyukur".



Setiap hari di setiap tarikan napas kita sesungguhnya adalah "kesempatan kedua" di dalam kehidupan kita. Kesempatan untuk selalu mengingat kebaikan yang telah kita terima dan mengingatkan kita untuk selalu berbuat bajik kepada sesama. Mari, manfaatkan setiap kesempatan yang ada dengan menjalankan ibadah dan amanah.


sumber : www.andriewongso.com

Pertanyaan Keenam


Suatu hari, di sebuah kota kecil, tampak seorang remaja tertarik melihat iklan lowongan pekerjaan sebagai pengantar barang di sebuah toko. Anak itu pun kemudian menemui pemilik toko untuk melamar pekerjaan tersebut.
 
“Kami memang membutuhkan orang untuk membantu mengirimkan barang-barang pesanan ke pelanggan,” kata pemilik toko.
 
“Mengenai pekerjaan ini, bolehkan saya mengajukan enam pertanyaan kepada bapak?” tanya remaja itu kepada pemilik toko.
 
“Silakan,” jawab pemilik toko.
 
“Pertama, berapa gaji bulanan yang akan saya terima? Kedua, jam berapa mulai bekerja dan sampai pukul berapa? Ketiga, berapa lama waktu yang diberikan untuk istirahat dan makan siang setiap harinya? Lalu keempat, berapa hari libur selama setahun? Dan kelima, berapa biaya pengobatan yang diberikan bila saya sakit?” tanya anak tersebut.
 
Setelah pemilik toko menjawab kelima pertanyaan tersebut dengan jelas. Si anak mengajukan pertanyaannya yang keenam, “Apakah ada sepeda yang bisa digunakan untuk tugas mengantar barang ke pelanggan?”
 
“Wah, kami tidak menyediakan sepeda untuk mengantarkan barang barang itu, tetapi…..” Belum selesai  pertanyaan dijawab, si anak  memotong ucapan pemilik toko.
 
“Oh, kalau begitu saya tidak jadi melamar pekerjaan ini.” Kemudian dia  bergegas pergi meninggalkan toko.
 
Dua jam kemudian, ada seorang remaja lain yang datang ke toko tersebut dengan maksud sama seperti remaja sebelumnya, yaitu mengisi lowongan pekerjaan di toko tersebut.
 
Setelah tahu jenis pekerjaan yang ditawarkan, si anak pun setuju untuk mulai bekerja d sana.
 
“Apakah kamu perlu tahu berapa gaji disini?” tanya pemilik toko dengan ramah.
 
“Tidak perlu,” jawab pelamar itu dengan sopan. “Saya lihat bapak adalah orang yang baik dan bijaksana, pasti akan memberi gaji yang layak kepada saya. Lagi pula, saya membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan uang untuk membantu ibu saya. Asal saya bisa mengisi lowongan pekerjaan di sini, saya sudah senang sekali.”
 
Melihat kesungguhan remaja ini, pemilik toko pun berkata, “Dua jam yang lalu ada orang seusiamu yang datang kemari untuk menanyakan beberapa hal mengenai pekerajaan ini. Semua pertanyaan sudah saya jawab. Saat saya  sedang menjawab pertanyaannya yang keenam, yaitu adakah sepeda yang disediakan untuk  pengantaran barang, saya jawab tidak ada. Dan pelamar kerja  tadi langsung pergi begitu saja...
 
Perlu kamu ketauhi, saya  memang tidak menyediakan sepeda, tetapi ada sebuah motor baru yang saya sediakan untuk mengantarkan barang. Bagaimana? Kamu siap bekerja keras kalau saya menerima kamu bekerja di sini?”
 
Dengan senyum lebar si anak menjawab, ”Terima kasih Pak, saya siap bekerja keras!”
 
 
Pembaca yang Luar Biasa!
 
Apa perbedaan dua remaja pencari pekerjaan tadi? Mereka mempunyai kesempatan yang sama dan pekerjaan yang sama pula. Akan tetapi, cara berpikir dan sikap mereka yang berbeda, membuat  pelamar pertama kehilangan kesempatan bekerja yang sudah ada di depan matanya. Sementara pelamar kedua dengan sikap yang lebih positif, akhirnya mendapatkan kesempatan bekerja dengan fasilitas yang memadai.
 
Dalam bekerja, yang kita butuhkan bukan sekadar menuntut apa yang akan kita terima, tetapi harus dimulai dengan apa yang mampu kita beri. Sebenarnya, bagi saya, kita bukan sekadar bekerja untuk atasan atau bos, tetapi lebih dari itu, kita bekerja untuk diri kita sendiri sesuai dengan tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan kepada kita.
 
Saya percaya, dengan sikap mental bekerja seperti itu, tentu integritas dan kemajuan karir kita akan terbangun secara mantap!
 
sumber : www.andriewongso.com