Rabu, 16 Mei 2012

Hadiah Terindah


Alkisah suatu hari di tahun 1945, seorang anak laki-laki berusia 12 tahun melihat sesuatu di sebuah etalase toko. Begitu melihat benda itu, jantungnya berdebar cepat. Sayangnya, harganya terlalu mahal bagi kantong anak itu, yaitu sebesar 5 dolar.

Anak yang bernama Reuben Earle itu tak mungkin meminta uang pada ayahnya. Sang ayah hanyalah seorang nelayan yang berpenghasilan pas-pasan.

Meski begitu, Ruben membuka pintu toko itu dan masuk ke dalam. Ia menceritakan pada pemilik toko apa yang diinginkannya, sambil menambahkan, "Tapi, aku sekarang belum punya uangnya. Bisakah Bapak tolong menyimpan barangnya untuk aku?"

"Bapak usahakan," si pemilik toko itu tersenyum.

Reuben menyentuh ujung topinya yang robek sebagai ucapan terima kasih, lalu berjalan ke luar. Di setiap langkahnya mengandung tekad bulat. Ia akan mengumpulkan lima dolar dan tidak bercerita pada siapa pun.

Ketika mendengar bunyi suara alat tempa di pinggir jalan, di benak Reuben muncul satu ide. Ia menghampiri asal bunyi itu dan berhenti di lokasi proyek pembangunan. Hari itu iamendapatkan dua karung, yang dibawanya ke pabrik limbah kayu dan menjualnya pada bapak yang bertugas mengumpulkan paku-paku.

Tangan Reuben menggenggam erat koin-koin sen hasil upahnya saat berlari pulang yang jaraknya sejauh dua km. Reuben tiba di rumah tepat pada waktu makan malam. Ayahnya duduk di meja dapur yang besar, sambil sibuk membuat jaring ikan. Sedangkan, ibunya ada di dapur tengah mempersiapkan makan malam saat Reuben menempati tempat duduknya di meja makan.

Ia menatap ibunya dan tersenyum. Cahaya matahari sore dari jendela menerpa rambut pirang sebahunya. Dengan perawakan kurus dan cantik, ibunya itulah yang menjadi primadona di rumah, perekat keluarga.

Setiap hari setelah mengerjakan tugas dan bersekolah, Reuben menjelajahi kota untuk mengumpulkan kantong paku hessian. Ketika jadwal liburan sekolah, di antara siswa lainnya Reuben-lah yang tampak sangat gembira. Sekarang ia punya banyak waktu untuk mengerjakan misinya. Sepanjang masa libur, di samping menyelesaikan tugas-tugasnya di rumah yaitu menyiangi dan menyirami taman, memotong kayu dan mengambil air, Reuben tetap melakukan pekerjaan rahasianya.

Sering kali ia merasa kedinginan, lelah, dan lapar, tapi bayangan barang di etalase toko membuatnya bertahan. Kadang ibunya bertanya, "Reuben, kau dari mana saja? Kami sudah menunggumu untuk makan malam."

"Main, Bu. Maaf." Saf ibu menatap wajah Reuben, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Akhirnya, musim semi datang memunculkan pucuk-pucuk hijau yang segar dan semangat Reuben membuncah. Waktunya sudah tiba! Ia berlari menuju gudang, memanjat ke atas loteng jerami, dan membuka bekas kaleng timah. Ia mengeluarkan koin-koinnya dan mulai menghitung.

Lalu, ia menghitung ulang. Ia masih butuh 20 sen lagi. Masih bisakah dia mendapat empat kantong dan menjualnya sebelum malam hari?

Reuben melewati Water Street. Bayangan dirinya mulai memanjang ketika Reuben tiba di pabrik. Pembeli kantong baru akan menutup pabriknya. "Pak! Tolong jangan ditutup dulu." Bapak itu menoleh dan melihat Reuben yang tampak kotor dan berkeringat. "Datanglah lagi besok, Nak."

"Tolong, Pak, aku harus jual kantong-kantong ini sekarang-tolong." Bapak itu mendengar nada bergetar di suara Reuben dan hampir saja meneteskan airmata. "Kenapa sepertinya kau sangat membutuhkan uang?"

"Itu rahasia."

Bapak itu mengambil kantong-kantong yang dibawa Reuben, mengambil uang di dalam kantongnya, dan menaruh empat koin di tangan Reuben. Reuben menggumamkan kata terima kasih dan berlari pulang. Lalu sambil menggenggam kaleng timah, ia berlari menuju toko.

Si pemilik toko mendekati etalase toko dan mengambil "harta" Reuben. Ia membersihkan debu yang menempel dan dengan hati-hati membungkusnya dalam kertas cokelat. Lalu, ia menaruh bungkusan itu di tangan Reuben.

Reuben pulang dengan terburu-buru, dan begitu sampai langsung menghambur masuk ke dalam rumah lewat pintu depan. Ibunya tengah membersihkan kompor di dapur. "Ini, Ibu! Ini!" Reuben berteriak ketika lari menghampiri ibunya. Ia menaruh sebuah kotak kecil di tangan ibunya yang tampak kasar.

Ibu membukanya perlahan, supaya kertas pembungkusnya tidak sobek. Terlihat sebuah kotak perhiasan warna biru-beludru. Ibu membukanya, dan airmata mulai mengalir mengaburkan pandangannya. Di dalamnya terdapat sebuah bros kecil berbentuk almond dengan tulisan bersepuh emas: IBU.

Hari itu bertepatan dengan Hari Ibu, di tahun 1946. Ibunya tak pernah mendapat hadiah seberharga itu. Ia pun tak punya perhiasan selain cincin kawinnya. Tanpa bisa berkata-kata, ibu tersenyum dan mendekap anaknya dengan hangat.


sumber:www.andriewongso.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar