Sabtu, 08 November 2014

Atlet dan Ayahnya

Olimpiade Barcelona, 1992. Enam puluh lima ribu pasang mata hadir di stadion itu. Semua hendak menyaksikan event atletik besar di ajang olahraga terbesar di bumi ini.

Nama lelaki itu Derek Redmond, seorang atlet pelari olimpiade asal Inggris. Impian terbesarnya ialah mendapatkan sebuah medali olimpiade, apapun medalinya. Derek sebenarnya sudah ikut di ajang olimpiade sebelumnya, tahun 1988 di Korea. Namun sayang beberapa saat sebelum bertanding, ia cedera sehingga tak bisa ikut berlomba. Mau tak mau, olimpiade ini adalah kesempatan terbaiknya untuk mewujudkan mimpinya. Ini adalah hari pembuktiannya, untuk mendapatkan medali di nomor lari 400 meter. Karena ia dan ayahnya sudah berlatih sangat keras untuk ini.

Suara pistol menanda dimulainya perlombaan. Latihan keras yang dijalani Derek Redmond, membuatnya segera unggul melampaui lawan-lawannya. Dengan cepat ia sudah memimpin hingga ke meter ke 225. Berarti kurang 175 meter lagi. Ya, kurang sebentar lagi ia akan mendapatkan medali yang diimpikannya selama ini. Namun tak ada yang menyangka ketika justru di performa puncaknya, ketika ia sedang memimpin perlombaan tersebut, tiba-tiba ia didera cedera secara tiba-tiba di meter 225 tersebut, timbul rasa sakit luar biasa di kaki kanannya. Saking sakitnya, seolah kaki tersebut telah ditembak sebuah peluru. Dan seperti orang yang ditembak kakinya, Derek Redmond pun menjadi pincang. Yang ia lakukan hanya melompat-lompat kecil bertumpu pada kaki kirinya, melambat, lalu rebah di tanah. Sakit di kakinya telah menjatuhkannya.

Derek sadar, impiannya memperoleh medali di Olimpiade ini pupus sudah. Melihat anaknya dalam masalah, Ayahnya yang berada di atas tribun, tanpa berpikir panjang ia segera berlari ke bawah tribun. Tak peduli itu menabrak dan menginjak sekian banyak orang. Baginya yang terpenting adalah ia harus segera menolong anaknya.

Di tanah, Derek Redmond menyadari bahwa impiannya memenangkan olimpiade pupus sudah. Ini sudah kedua kalinya ia berlomba lari di Olimpiade, dan semuanya gagal karena cedera kakinya. Namun jiwanya bukan jiwa yang mudah menyerah. Ketika tim medis mendatanginya dengan membawa tandu, ia berkata, "Aku tak akan naik tandu itu, bagaimanapun juga aku harus menyelesaikan perlombaan ini" katanya.

Maka Derek pun dengan perlahan mengangkat kakinya sendiri. Dengan sangat perlahan pula, sambil menahan rasa sakit di kakinya, ia berjalan tertatih dengan sangat lambat. Tim medis mengira bahwa ingin berjalan sendiri ke tepi lapangan, namun mereka salah. Derek ingin menuju garis finish.

Di saat yang sama pula Jim, Ayah Derek sudah sampai di tribun bawah. Ia segera melompati pagar lalu berlari melewati para penjaga menuju Anaknya yang berjalan menyelesaikan perlombaan dengan tertatih kesakitan. Kepada para penjaga ia hanya berkata, "Itu anakku, dan aku akan menolongnya !"

Akhirnya, kurang 120 meter dari garis finish, sang Ayah pun sampai juga di Derek yang menolak menyerah. Derek masih berjalan pincang tertatih dengan sangat yakin . Sang Ayah pun merangkul dan memapah Derek. Ia kalungkan lengan anaknya tersebut ke bahunya.

"Aku disini nak" katanya lembut sambil memeluk anaknya, "dan kita akan menyelesaikan perlombaan ini bersama-sama"

Ayah dan anak tersebut, dengan saling berangkulan, akhirnya sampai di garis finish. Beberapa langkah dari garis finish, sang Ayah, Jim, melepaskan rangkulannya dari anaknya agar Derek dapat melewati garis finish tersebut seorang diri. Lalu kemudian, barulah ia merangkul anaknya lagi.

Enam puluh lima ribu pasang mata menyaksikan mereka, bersorak bertepuk tangan, dan sebagian menangis. Scene Ayah dan anak itu kini seolah lebih penting daripada siapa pemenang lomba lari.

Derek Redmond tak mendapat medali, bahkan ia didiskualifikasi dari perlombaan. Namun lihatlah komentar Ayahnya.

"Aku adalah Ayah yang paling bangga sedunia ! Aku lebih bangga kepadanya sekarang daripada jika ia mendapatkan medali emas sekalipun"

Dua tahun pasca perlombaan lari tersebut, dokter bedah mengatakan kepada Derek bahwa Derek tak akan lagi dapat mewakili negaranya dalam perlombaan olahraga.

Namun tahukah kalian apa yang terjadi ?

Lagi-lagi, dengan dorongan dari Ayahnya, Derek pun akhirnya mengalihkan perhatiannya. Dia pun menekuni dunia basket, dan akhirnya menjadi bagian dari timnas basket Inggris Raya. Dikiriminya foto dirinya bersama tim basket ke dokter yang dulu memvonisnya takkan mewakili negara dalam perlombaan olahraga.
-----------------------------------------------------------------------------------

Jika kasih ibu, adalah melindungi kita dari kelamnya dunia, maka kasih seorang Ayah adalah mendorong kita untuk menguasai dunia itu. Seorang Ayah akan senantiasa mendukung, memotivasi, men-support, dan membersamai kita dalam kondisi apapun. Ayah pulalah yang akan meneriakkan kita untuk bangkit, lalu memapah kita hingga ke garis finish. Karena mereka tak ingin kita menyerah pada keadaan, sebagaimana yang ia contohkan.

#Berdasarkan kisah nyata yang diambil dari Novel Inspiratif Sepatu Terakhir.

sumber : kisahinspirasi.com
Photo: Atlet dan Ayahnya

Olimpiade Barcelona, 1992. Enam puluh lima ribu pasang mata hadir di stadion itu. Semua hendak menyaksikan event atletik besar di ajang olahraga terbesar di bumi ini.

Nama lelaki itu Derek Redmond, seorang atlet pelari olimpiade asal Inggris. Impian terbesarnya ialah mendapatkan sebuah medali olimpiade, apapun medalinya. Derek sebenarnya sudah ikut di ajang olimpiade sebelumnya, tahun 1988 di Korea. Namun sayang beberapa saat sebelum bertanding, ia cedera sehingga tak bisa ikut berlomba. Mau tak mau, olimpiade ini adalah kesempatan terbaiknya untuk mewujudkan mimpinya. Ini adalah hari pembuktiannya, untuk mendapatkan medali di nomor lari 400 meter. Karena ia dan ayahnya sudah berlatih sangat keras untuk ini.

Suara pistol menanda dimulainya perlombaan. Latihan keras yang dijalani Derek Redmond, membuatnya segera unggul melampaui lawan-lawannya. Dengan cepat ia sudah memimpin hingga ke meter ke 225. Berarti kurang 175 meter lagi. Ya, kurang sebentar lagi ia akan mendapatkan medali yang diimpikannya selama ini. Namun tak ada yang menyangka ketika justru di performa puncaknya, ketika ia sedang memimpin perlombaan tersebut, tiba-tiba ia didera cedera secara tiba-tiba di meter 225 tersebut, timbul rasa sakit luar biasa di kaki kanannya. Saking sakitnya, seolah kaki tersebut telah ditembak sebuah peluru. Dan seperti orang yang ditembak kakinya, Derek Redmond pun menjadi pincang. Yang ia lakukan hanya melompat-lompat kecil bertumpu pada kaki kirinya, melambat, lalu rebah di tanah. Sakit di kakinya telah menjatuhkannya.

Derek sadar, impiannya memperoleh medali di Olimpiade ini pupus sudah. Melihat anaknya dalam masalah, Ayahnya yang berada di atas tribun, tanpa berpikir panjang ia segera berlari ke bawah tribun. Tak peduli itu menabrak dan menginjak sekian banyak orang. Baginya yang terpenting adalah ia harus segera menolong anaknya.

Di tanah, Derek Redmond menyadari bahwa impiannya memenangkan olimpiade pupus sudah. Ini sudah kedua kalinya ia berlomba lari di Olimpiade, dan semuanya gagal karena cedera kakinya. Namun jiwanya bukan jiwa yang mudah menyerah. Ketika tim medis mendatanginya dengan membawa tandu, ia berkata, "Aku tak akan naik tandu itu, bagaimanapun juga aku harus menyelesaikan perlombaan ini" katanya.

Maka Derek pun dengan perlahan mengangkat kakinya sendiri. Dengan sangat perlahan pula, sambil menahan rasa sakit di kakinya, ia berjalan tertatih dengan sangat lambat. Tim medis mengira bahwa ingin berjalan sendiri ke tepi lapangan, namun mereka salah. Derek ingin menuju garis finish.

Di saat yang sama pula Jim, Ayah Derek sudah sampai di tribun bawah. Ia segera melompati pagar lalu berlari melewati para penjaga menuju Anaknya yang berjalan menyelesaikan perlombaan dengan tertatih kesakitan. Kepada para penjaga ia hanya berkata, "Itu anakku, dan aku akan menolongnya !"

Akhirnya, kurang 120 meter dari garis finish, sang Ayah pun sampai juga di Derek yang menolak menyerah. Derek masih berjalan pincang tertatih dengan sangat yakin . Sang Ayah pun merangkul dan memapah Derek. Ia kalungkan lengan anaknya tersebut ke bahunya.

"Aku disini nak" katanya lembut sambil memeluk anaknya, "dan kita akan menyelesaikan perlombaan ini bersama-sama"

Ayah dan anak tersebut, dengan saling berangkulan, akhirnya sampai di garis finish. Beberapa langkah dari garis finish, sang Ayah, Jim, melepaskan rangkulannya dari anaknya agar Derek dapat melewati garis finish  tersebut seorang diri. Lalu kemudian, barulah ia merangkul anaknya lagi.

Enam puluh lima ribu pasang mata menyaksikan mereka, bersorak bertepuk tangan, dan sebagian menangis. Scene Ayah dan anak itu kini seolah lebih penting daripada siapa pemenang lomba lari.

Derek Redmond tak mendapat medali, bahkan ia didiskualifikasi dari perlombaan. Namun lihatlah komentar Ayahnya.

"Aku adalah Ayah yang paling bangga sedunia ! Aku lebih bangga kepadanya sekarang daripada jika ia mendapatkan medali emas sekalipun"

Dua tahun pasca perlombaan lari tersebut, dokter bedah mengatakan kepada Derek bahwa Derek tak akan lagi dapat mewakili negaranya dalam perlombaan olahraga.

Namun tahukah kalian apa yang terjadi ?

Lagi-lagi, dengan dorongan dari Ayahnya, Derek pun akhirnya mengalihkan perhatiannya. Dia pun menekuni dunia basket, dan akhirnya menjadi bagian dari timnas basket Inggris Raya. Dikiriminya foto dirinya bersama tim basket ke dokter yang dulu memvonisnya takkan mewakili negara dalam perlombaan olahraga.
-----------------------------------------------------------------------------------

Jika kasih ibu, adalah melindungi kita dari kelamnya dunia, maka kasih seorang Ayah adalah mendorong kita untuk menguasai dunia itu. Seorang Ayah akan senantiasa mendukung, memotivasi, men-support, dan membersamai kita dalam kondisi apapun. Ayah pulalah yang akan meneriakkan kita untuk bangkit, lalu memapah kita hingga ke garis finish. Karena mereka tak ingin kita menyerah pada keadaan, sebagaimana yang ia contohkan.

#Berdasarkan kisah nyata yang diambil dari Novel Inspiratif Sepatu Terakhir.

sumber : kisahinspirasi.com

Sabtu, 01 November 2014

Mengelola Emosi



Alkisah, ada pengusaha muda yang merupakan pelanggan sebuah kedai kopi di tengah kota. Semua karyawan di sana sampai bos pemilik kedai mengenal baik dan memberi pelayanan yang terbaik untuk pelanggan setia ini.

Hingga suatu sore, seperti biasa, pengusaha muda itu telah menempati meja sudutnya, terlihat menikmati sore itu dengan membaca pesan di ponselnya, sambil menunggu pesanannya. Tidak lama kemudian tampak pelayan mendatangi mejanya sambil membawa secangkir kopi panas. Tetapi karena kurang hati-hati dan tidak konsentrasi, saat mengangkat cangkir, kopi panas itu mendadak tumpah membasahi ponsel, baju, dan celana mahalnya.

“Heii!!! Aduuh panas... mata kamu ke mana!?” Serunya terkejuit, sambil berdiri. Tangannya sibuk membersihkan tumpahan kopi. Sesaat dia menatap marah kepada si pelayan yang ketakutan.

“Kamu orang baru ya! Keterlaluan! Ini handphone, baju, dan celana mahal tahu enggak? Pakai apa kamu gantiinnya, hah?!!” Teriakan marahnya membuat si pelayan gemetar terdiam dan seisi kedai menoleh.

Pemilik kedai pun segera berlari menghampiri, “Maaf Tuan, maaf. Ini kesalahan kami." Ia dengan sigap membersihkan pecahan cangkir dan tumpahan kopi, dan meminta pelayan lain untuk segera mengantarkan secangkir kopi gratis sebagai permintaan maaf.

“Ini pelayan baru. Tolong dimaafkan," kata owner, kepada pengusaha muda itu. "Dia baru dua hari kerja. Suaminya baru saja meninggal karena kebakaran di tempat tinggal mereka. Dia dan ketiga anaknya berhasil selamat dan saat ini mereka harus tinggal di tempat penampungan sementara. Saya menerima kerja juga karena kasihan. Mungkin dia masih belum pulih sehingga kehilangan konsentrasi dan melakukan kesalahan ini. Maaf sekali lagi, Tuan. Jika harus mengganti, saya yang bertanggung jawab." Mendengar keterangan itu, walaupun masih jengkel melihat celana dan baju putihnya yang terkotori oleh kopi, tetapi api kemarahan yang meluap tadi mendadak surut, malah berbalik empati dan mau mengerti.


Emosi negatif seperti marah, iri, benci dan sebagainya, sering menghampiri kita dengan memakai berbagai alasan untuk membenarkannya. Padahal kita tahu, emosi negatif mampu merusak akal sehat dan berpotensi melukai diri sendiri dan orang lain.

Mari ubah sudut pandang, cari alasan berbeda untuk mengelola emosi negatif menjadi positif, sehingga kehidupan kita tidak tergerogoti penyakit miskin mental, yang pasti merugikan diri sendiri.

http://www.andriewongso.com/articles/details/14037/Mengelola-Emosi