Judul di atas adalah sikap Rasulullah ketika terjadi peristiwa
yang ibarat danau, airnya telah dibuat beriak oleh satu peristiwa yang
terjadi. Para sahabat di sekeliling beliau, siap memberikan respon dan
reaksi, tapi respon dan reaksi yang paling baik datang dari Rasulullah.
Tidak kurang, tidak lebih, secukupnya tapi mendalam, kena.
Satu hari, di Masjid Nabi, Rasulullah dan para sahabatnya sedang
berkumpul dalam halaqah, majelis ilmu, membahas sesuatu. Masjid Nabi,
lantainya masih pasir, tak ada ubin, apalagi sajadah. Dan mereka duduk,
shalat, ruku’ dan sujud di atasnya.
Ketika kelompok manusia terbaik ini berkumpul dan mempelajari ilmu dan
perintah Allah, tiba-tiba datang seorang lelaki Badui, lelaki desa nan
udik ke dalam Masjid Nabi. Kita semua mengetahui kisahnya. Sebagian
besar kaum Muslimin bahkan telah hapal ujung ceritanya. Tapi mari,
sekali lagi kita belajar dari sudut pandang yang sedikit lain.
Lelaki Badui ini, tak datang untuk bergabung dalam halaqah nan
mulia. Lelaki ini terus berjalan, menuju ujung ruangan, di pojok
bangunan Masjid Nabi. Di sana, dia tengok kanan dan kiri. Mengangkat
kainnya dan berjongkok di ujung ruangan untuk menuntaskan hajatnya.
Lelaki Badui ini buang air kecil, buang air kecil!
Para sahabat yang berada di masjid dan sedang berhalaqah, seketika
bergejolak. Mereka hendak berdiri, entah dengan niat melakukan apa di
hati masing-masing. Para sahabat marah. Dan kemarahan mereka sangat
wajah, ini Masjid Nabi, bukan tempat buang hajat. Para sahabat
berhamburan, berdiri, segera berjalan menghampiri lelaki Badui yang
sedang menuntaskan hajatnya tadi. Di wajah-wajah mereka, para sahabat
mulia itu, nampak kemarahan yang siap meledak.
Tapi Rasulullah memanggil dan menenangkan semua sahabat yang sudah siap
mengambil aksi. “Jangan, biarkan dia. Jangan menganggunya. Biarkan dia
menyelesaikan kencingnya,” ujar Rasulullah saw.
Setelah lelaki Badui ini menyelesaikan urusannya, Rasulullah
memanggilnya dengan nada lembut. Padahal, para sahabat, semuanya, sudah
berada pada titik didih. Lelaki Badui ini datang dan berjalan pelan
menghampiri Rasulullah. Beliau menangkap atmosfer kemarahan yang
mengepungnya. Tapi hanya Rasulullah yang ditujunya.
Dengan halus, ketika lelaki Badui ini berada di depan beliau, Rasulullah
berkata, “Sesungguhnya, masjid ini dibangun bukan untuk itu (maksudnya
untuk buang hajat). Masjid ini dibangun untuk shalat dan membaca al
Qur’an.”
Hanya itu, tidak kurang, tidak berlebihan. Singkat, tapi tepat sasaran.
Lelaki Badui ini paham, dan lalu pergi meninggalkan Masjid Nabi. Tak
lama waktu shalat tiba, dan Rasulullah memimpin para sahabat untuk
menunaikan shalat. Dan yang menarik, lelaki Badui ini bergabung bersama
untuk shalat jamaah. Dan Rasulullah pun memimpin shalat.
Seperti biasa, Rasulullah melakukan shalat. Sampai ketika bangkit ruku’,
Rasulullah mengucapkan , “Sami’Allahu liman Hamidah.” Allah mendengar
orang yang memuji-Nya.
Para sahabat kemudian menjawab dengan ucapan, “Rabbana walakal Hamdu.” Tuhan kami, segala puji hanya untuk-Mu.
Di luar dugaan, lelaki Badui, ya betul, lelaki Badui yang tadi,
menambahkan doanya lebih panjang dari para sahabat. “Rabbana walakal
Hamdu. Allahumarhamni wa Muhammadan, wala Tarham ma’ana ahadan.”
Tuhan
kami, segala puji hanya untuk-Mu. Ya Allah, sayangilah aku dan
Muhammad. Dan jangan sayangi orang-orang selain kami berdua.
Doa ini dibaca dengan lantang, sampai-sampai Rasulullah mendengarnya.
Dan tentu saja, para sahabat yang ada juga mendengarnya. Memang lelaki
Badui ini, yang seringkali disebut tidak berpendidikan dan memilik
karakter unik, telah menyalahi rukun dari bacaan shalat. Tapi
pelajarannya yang seringkali kita tidak perhatikan adalah, lihatlah isi
doanya. Doa yang mencerminkan, bahwa Rasulullah telah menguasai hatinya.
Doa yang memperlihatkan, bahwa dia juga menolak, sekurang-kurangnya tak
mau dengan para sahabat yang ada.
Lelaki Badui ini, yang mohon maaf, sekali lagi kelompok ini sering
disebut sebagai kelompok masyarakat yang tidak berpendidikan, telah
menempatkan Rasulullah di tempat yang sangat berpengaruh dalam hidupnya,
dalam pikirannya, dalam doanya, dalam permintaannya kepada Allah.
Sehingga dia berharap hanya Rasulullah dan dirinya saja yang dirahmati
Allah. Dan tentu saja, ketika seseorang menempati posisi yang istimewa,
maka istimewa pula letak nasihatnya.
Selepas shalat, Rasulullah berbalik badan. Lalu beliau memanggil lelaki
Badui ini dan berkata singkat, “Engkau telah membatasi sesuatu yang
sangat luas.” Ya, singkat, sesuai dengan kebutuhan bagi seorang lelaki
Badui yang tentu saja tingkat pemahamannya tidak sama dengan
sahabat-sahabat utama seperti Abubakar, Umar bin Khattab atau sahabat
yang lain.
ditulis oleh ust. Herry Nurdi
gambar dan artikel dari http://penerang.com/2012/04/18/secukupnya-tapi-mendalam/
http://www.kisahinspirasi.com/2012/09/secukupnya-tapi-mendalam.html