Minggu, 25 Maret 2012

Senangkan Orang Tua Semasa Hidup!


Usia ayah telah mencapai 70 tahun, namun
tubuhnya masih kuat. Dia mampu mengendarai
sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang 2
kilometer untuk belanja keperluan sehari-
hari. Sejak meninggalnya ibu pada 6 tahun
lalu, ayah sendirian di kampung. Oleh karena itu kami kakak-beradik 5 orang bergiliran
menjenguknya.
...
Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal
jauh dari kampung halaman di Teluk Intan.
Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Setiap kali
saya menjenguknya, setiap kali itulah istri
saya mengajaknya tinggal bersama kami di
Kuala Lumpur.

"Nggak usah. lain kali saja.!"jawab ayah.

Jawaban itu yang selalu diberikan kepada
kami saat mengajaknya pindah. Kadang-
kadang ayah mengalah dan mau menginap
bersama kami, namun 2 hari kemudian dia
minta diantar balik. Ada-ada saja alasannya.

Suatu hari Januari lalu, ayah mau ikut saya

ke Kuala Lumpur. Kebetulan sekolah masih
libur, maka anak-anak saya sering bermain
dan bersenda-gurau dengan kakek mereka.
Memasuki hari ketiga, ia mulai minta pulang.
Seperti biasa, ada-ada saja alasan yang diberikannya. "Saya sibuk, ayah. tak boleh
ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi. akhir
minggu ini saya akan antar ayah," balas saya.
Anak-anak saya ikut membujuk kakek mereka.
"Biarlah ayah pulang sendiri jika kamu
sibuk. Tolong belikan tiket bus saja yah." katanya yang membuat saya bertambah kesal.
Memang ayah pernah berkali-kali pulang naik
bus sendirian.

"Nggak usah saja yah." bujuk saya saat

makan malam. Ayah diam dan lalu masuk ke
kamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya
saat saya hendak berangkat ke kantor, ayah
sekali lagi minta saya untuk membelikannya
tiket bus. "Ayah ini benar-benar nggak mau mengerti yah. saya sedang sibuk,
sibuuukkkk!!!" balas saya terus keluar
menghidupkan mobil.

Saya tinggalkan ayah terdiam di muka pintu.

Sedih hati saya melihat mukanya. Di dalam
mobil, istri saya lalu berkata, "Mengapa
bersikap kasar kepada ayah? Bicaralah baik-
baik! Kasihan khan dia.!" Saya terus
membisu.

Sebelum istri saya turun setibanya di kantor,

dia berpesan agar saya penuhi permintaan
ayah. "Jangan lupa, Pa.. belikan tiket buat
ayah," katanya singkat. Di kantor saya
termenung cukup lama. Lalu saya meminta
ijin untuk keluar kantor membeli tiket bus buat ayah.

Pk. 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta

ayah untuk bersiap. "Bus berangkat pk.
14.00," kata saya singkat. Saya memang saat
itu bersikap agak kasar karena didorong rasa
marah akibat sikap keras kepala ayah. Ayah
tanpa banyak bicara lalu segera berbenah. Dia masukkan baju-bajunya kedalam tas dan kami
berangkat. Selama dalam perjalanan, kami
tak berbicara sepatah kata pun.

Saat itu ayah tahu bahwa saya sedang marah.

Ia pun enggan menyapa saya.! Setibanya di
stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus.
Setelah itu saya Pamit dan terus turun dari
bus. Ayah tidak mau melihat saya, matanya
memandang keluar jendela. Setelah bus berangkat, saya lalu kembali ke mobil. Saat
melewati halaman stasiun, saya melihat
tumpukan kue pisang di atas meja dagangan
dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan
teringat ayah yang sangat menyukai kue itu.
Setiap kali ia pulang ke kampung, ia selalu minta dibelikan kue itu. Tapi hari itu ayah
tidak minta apa pun.

Saya lalu segera pulang. Tiba di rumah,

perasaan menjadi tak menentu. Ingat
pekerjaan di kantor, ingat ayah yang sedang
dalam perjalanan, ingat Istri yang berada di
kantornya. Malam itu sekali lagi saya
mempertahankan ego saya saat istri meminta saya menelpon ayah di kampung seperti yang
biasa saya lakukan setiap kali ayah pulang
dengan bus. Malam berikutnya, istri bertanya
lagi apakah ayah sudah saya hubungi. "Nggak
mungkin belum tiba," jawab saya sambil
meninggikan suara.

Dini hari itu, saya menerima telepon dari

rumah sakit Teluk Intan. "Ayah sudah
tiada." kata sepupu saya disana. "Beliau
meninggal 5 menit yang lalu setelah
mengalami sesak nafas saat Maghrib tadi."
Ia lalu meminta saya agar segera pulang. Saya lalu jatuh terduduk di lantai dengan
gagang telepon masih di tangan. Istri lalu
segera datang dan bertanya, "Ada apa, bang?"
Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah
agak lama baru bisa berkata, "Ayah sudah
tiada!!"

Setibanya di kampung, saya tak henti-

hentinya menangis. Barulah saat Itu saya
sadar betapa berharganya seorang ayah dalam
hidup ini. Kue pisang, kata-kata saya kepada
ayah, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata
istri mengenai ayah silih berganti menyerbu pikiran.

Hanya Tuhan yang tahu betapa luluhnya hati

saya jika teringat hal itu. Saya sangat
merasa kehilangan ayah yang pernah menjadi
tempat saya mencurahkan perasaan, seorang
teman yang sangat pengertian dan ayah yang
sangat mengerti akan anak-anaknya. Mengapa saya tidak dapat merasakan
perasaan seorang tua yang merindukan
belaian kasih sayang anak-anaknya sebelum
meninggalkannya buat selama-lamanya.

Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali

pulang ke kampung, hati saya bagai terobek-
robek saat memandang nisan di atas pusara
ayah. Saya tidak dapat menahan air mata jika
teringat semua peristiwa pada saat-saat
akhir saya bersamanya. Saya merasa sangat bersalah dan tidak dapat memaafkan diri ini.

Benar kata orang, kalau hendak berbakti

sebaiknya sewaktu ayah dan ibu masih hidup.
Jika sudah tiada, menangis airmata darah
sekalipun tidak berarti lagi.

Kepada kita yang masih memiliki orangtua,

jagalah perasaan mereka.
Kasihilah mereka sebagaimana mereka
merawat kita sewaktu kecil dulu sebelum
semuanya terlambat


sumber : copas facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar