Rabu, 21 Maret 2012

Kesabaran Seorang Resepsionis

Beberapa bulan yang lalu di meja pemesanan kamar hotel, saya melihat suatu
kejadian yang sangat mengesankan: betapa sulitnya menjadi resepsionis.

Saat itu sekitar pukul lima sore, petugas resepsionis hotel sibuk mendaftar
tamu-tamu baru. Orang di depan saya memberikan namanya kepada pegawai di
belakang meja dengan nada memerintah. Laki-laki berwajah sumringah itu pun
berkata, "Baik, Bapak, kami sediakan satu kamar single untuk Anda.”

“Single?” bentak orang itu, “saya memesan double!”

Pegawai hotel tersebut berkata dengan sopan, “coba saya periksa sebentar.”
Ia menarik permintaan pesanan tamu dari arsip dan berkata, “Maaf, Bapak,
telegram Anda menyebutkan single. Saya akan senang sekali menempatkan Anda
di kamar double kalau memang ada. Tetapi semua kamar double sudah penuh.”

Tamu yang berang itu berkata, “Saya tidak peduli apa bunyi kertas itu, saya
mau kamar double!”

Kemudian ia mulai bersikap 'kamu-tahu-siapa-saya', diikuti dengan “saya
akan usahakan agar kamu dipecat. Kamu lihat nanti. Saya akan buat kamu
dipecat.”

Di bawah serangan gencar, pegawai muda tersebut menyela, “kami menyesal
sekali tidak bisa memenuhi permintaan Bapak, tetapi kami bertindak
berdasarkan instruksi Anda.”

Akhirnya, sang tamu yang terbakar amarah itu berkata, “saya tidak akan mau
tinggal di kamar yang terbagus di hotel ini sekarang. Manajemennya
benar-benar buruk!” Dan ia pun keluar.

Saya menghampiri meja penerimaan sambil berpikir si pegawai pasti masih
memasang wajah masam setelah baru saja dimarahi habis-habisan. Sebaliknya,
ia menyambut saya dengan salam yang ramah sekali “Selamat malam, Bapak.”

Ketika ia mengerjakan tugas rutin yang biasa dalam mengatur kamar untuk
saya, saya berkata kepadanya, “saya mengagumi cara Anda mengendalikan diri
tadi. Anda benar-benar sabar.”

“Saya tidak dapat marah kepada orang seperti itu. Anda lihat, ia sebenarnya
bukan marah kepada saya. Saya cuma korban pelampiasan kemarahannya. Orang
yang malang tadi mungkin baru saja ribut dengan istrinya, atau bisnisnya
mungkin sedang lesu, atau barangkali ia merasa rendah diri, dan ini adalah
peluang emasnya untuk melampiaskan kekesalannya.”

Pegawai tadi menambahkan, “pada dasarnya ia mungkin orang yang sangat baik.
Kebanyakan orang begitu.”

Sambil melangkah menuju lift, saya mengulang-ulang perkataannya, “pada
dasarnya ia mungkin orang yang sangat baik. Kebanyakan orang begitu.”

Ingat dua kalimat itu kalau ada orang yang menyatakan perang pada Anda.
Jangan membalas. Cara untuk menang dalam situasi seperti ini adalah
membiarkan orang tersebut melepaskan amarahnya, dan kemudian lupakan saja.
[]


Sumber: Tidak Diketahui

Tidak ada komentar:

Posting Komentar