Jumat, 24 Januari 2014

Uang Kampanye

Oleh: Ayung Notonegoro

Desa Patemon bergejolak. Desa yang terkenal adem ayem dan religius itu mendadak geger. Usut punya usut ternyata penyebabnya adalah perihal pemasangan poster gambar salah satu caleg yang terpampang di depan masjid. Diiringi pula bendera partai yang mengusung dia terpasang di sepanjang pagar masjid.

Warga yang hilir mudik sehabis shalat shubuh di masjid mulai rasan-rasan membincangkan pemasangan poster caleg.

“Wah, masjid kita telah disusupi partai,” ujar salah seorang warga.

“Iya itu... masak masjid yang seharusnya harus jadi tempat ibadah malah dijadikan tempat kampanye,” timpal yang lain.

Perbincangan seputar poster caleg semakin berkembang. Mereka bergerombol di warung seberang jalan masjid itu.

“Semalem ada mobil sedan dan mobil pick up yang parkir di dalam masjid,” ujar Mbok Nah, si pemilik warung.

Sambil melayani pembeli, Mbok Nah melanjutkan ceritanya.

“Sekitar jam sebelasan mereka keluar dari masjid. Mungkin sedang ada rapat. Pagi-paginya sudah kepasang gambar itu,” lanjut Mbok Nah sambil menunjuk poster caleg itu.

“Wah, nggak beres ini,” sahut orang-orang yang mendengar cerita Mbok Nah.

Perbincangan pagi tentang poster caleg di warung Mbok Nah berkembang menjadi desas-desus yang terus bergulir di masyarakat Patemon. Dari mulut ke mulut berita itu menyebar dengan beragam isu yang semakin menarik, bombastis, dan simpang siur.

Dari beragam isu yang yang berkembang di tengah masyarakat, isu tentang pemberian bantuan yang menjadi topik utama.

“Yu, jarene masjid entok seket juta?” ujar Painem yang sedang mencuci baju di kali.

“Jare sopo awakmu, Nem?” jawab teman nyuci Painem yang berbunyi pertanyaan.

“Wong-wong iku, Yu.”

“Sak endi ake’e duwik sak mono iku yow?” sahutnya dengan nada heran dan wajah melongo membayangkan seberapa banyaknya uang lima puluh juta.

Lain ibu-ibu lain pula bapak-bapak.

“Eroh nggak awakmu Sur?” teriak Parman dari atas pohon kelapa kepada Suryanto yang juga sedang nderes.

“Opo, Cak?”

“Masjid disogok seratus juta oleh salah satu caleg.”

“Oh.. tahu saya, Kang. Bahkan saya dengar nanti orang-orang sehabis shalat isya mau ngelurug ke ketua ta’mir di masjid.”

“Wah rame berarti ntar malem, Sur?”

“Iya. Jangan sampai tidak hadir.”

***

Tidak seperti biasanya. Jamaah shalat isya di masjid malam itu nampak penuh. Yang biasanya hanya sak lonjor sebelah depan saja makmum yang jama’ah untuk malam itu sampai meluber ke belakang. Bahkan setelah shalat isya selesai semakin ramai warga yang berkunjung. Laki-laki perempuan, tua muda, semua tumplek blek di pelataran masjid.

“Seperti ada pengajian maulid Nabi yang mubalignya dari luar kota saja,” komentar salah satu warga.

Setelah selesai shalat sunnah ba’da isya, sang imam yang juga ketua takmir masjid desa Patemon di kerubung oleh para jamaah. Sebelumnya Pak Haji Dul Hamid, si ketua takmir, kebingungan melihat jamaah yang begitu banyak, namun setelah dijelaskan oleh salah satu pengurus takmir yang lain akhirnya paham.

“Memang benar masjid mendapat bantuan sebesar lima puluh juta dari caleg yang posternya terpampang di depan masjid,” terang Haji Dul Hamid lansung pada pokok permasalahan.

“Huuu...” teriak para hadirin.

“Kenapa terus? Kan ini demi kebaikan masjid.”

“Begini Pak Haji. Sebelumnya saya mohon maaf. Bukankah hal demikian termasuk risywah alias suap menyuap,” ujar Durrahman, seorang ustad muda lulusan salah satu pondok terkemuka di Jawa Timur.

“Jangan berpikir terlalu jauh!” ujar Pak Haji.

“Jika boleh diumpamakan hal ini seperti penyu. Daging penyu itu haram karena hidup di dua alam, tapi telurnya halal kan?”

Hadirin mengangguk.

“Begitu pula politik. Memang mekanisme perpolitikan saat ini syubhat. Rentan dengan tindak korupsi, tapi uang yang diberikan oleh orang-orang partai kan belum tentu haram, iya kan? Persis kayak telur penyu tadi,” pungkas Pak Haji.

“Itu qiyas akal-akalannya Pak Haji,” tandas ustad muda tadi.

“Apa-apa yang diberikan dengan disertai sarat yang mengikuti selanjutnya dengan tujuan untuk menguasai salah satu pihak itu namanya suap. Barangsiapa yang menyuap maupun yang disuap sama-sama akan masukkan neraka,” lanjutnya dengan menyitir salah satu hadist Nabi.

Suasan hening beberapa detik kemudian riuh kembali. Hadirin yang datang ke masjid terbelah dua, ada yang mendukung Pak Haji ada pula yang mendukung Ustad Muda.

“Nggak usah naif toh kita juga bayar pajak. Jadi kita berhak untuk mendapat kembali uang yang telah dikorup oleh para politikus-politikus itu,” ujar pendukung Pak Haji.

“Biarkan mereka saja yang masuk neraka, kita tidak usah ikut-ikutan masuk neraka,” sahut pendukung Ustad muda.

“Apa gunanya masjid mewah dan besar jika tidak semakin makmur, tapi malah tambah sepi karena dibangun dari uang yang tidak jelas halal haramnya,” lanjutnya.

Debat kusir semakin seru antar dua kelompok. Pendukung Pak Haji tetap bersikukuh dengan pragmatisme kontekstual, sedangkan kelompok ustad muda juga tetap berpegang teguh dengan pemahaman keagamaannya yang idealis formalistis.

Tiba-tiba seorang pemuda bangkit lalu mencoba menenangkan massa untuk memberikan kesempatan pada dirinya sendiri menagar dapat mengemukakan pendapat.

“Maaf sebelumnya, setelah saya membaca dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan bahwa pemberian sesuatu oleh seorang atasan tidak pasti disebut dengan suap. Ada kriteria-kriteria tertentu yang menyebabkan demikian,” jelasnya.

“Apa itu?”

“Lebih lanjut Imam Ghazali menjelaskan jika pemberian tersebut dengan disertai harapan yang sifatnya tidak mengikat maka itu diperbolehkan, tetapi bagi si penerima hukumnya adalah makruh syadidah.” jawabnya.

“Berarti tidak haram dong?” tanya yang lain.

“Benar. Tapi itu bisa haram apabila ada ikatan perjanjian untuk memperoleh sesuatu. Maka hukumnya sama dengan risywah dan haram.”

“Berarti jika bantuan itu hanya bersifat sumbangan dan ada kampanye untuk mengimbau memilih salah satu calon maka hukumnya hanya makruh, tapi jika disertai dengan kontrak politik tertentu maka hukumnya haram, begitu?” tanya yang lain.

“Tepat. Sekarang tanyakan saja sama Pak Haji, apakah bantuan itu bersifat sumbangan saja ataukah ada kontrak politik untuk pemenangan salah satu calon?” tanya si Pemuda.

Pak Haji yang sejak tadi menyimak dengan seksama apa yang dikatakan oleh si pemuda tetap duduk tenang . Sebelum Pak Haji menjawab tiba-tiba hujan deras mengguyur lebat. Warga yang tadi banyak di luar berduyun-duyun masuk ke masjid untuk berteduh. Sayang yang di dalam masjid pun sibuk pula mencari tempat untuk berteduh karena banyak atap masjid yang bocor.

“Ehm..Ehm..Ehm..” Pak Haji berdehem tiga kali sebagai tanda menenangkan hiruk pikuk hadirin.

“Masjid kita sudah tua, banyak genteng yang sudah bocor dan tembok-temboknya telah banyak yang rontok. Tapi dengan kondisi perekonomian kita saat ini, sulit sekali rasanya untuk merenovasi hanya dengan mengandalkan iuran dari kita sendiri. Oleh karena itu, maka apalah salahnya jika kita menerima sumbangan parti politik untuk membangun masjid yang kita cintai ini,” terang Pak Haji diplomatis.

Warga terdiam mendengar curahan hati Pak Haji. Ketika urusan ekonomi dikedepankan tak ada lagi keteguhan prinsip. Seakan semua bertekuk lutut kepada uang. Argumentasi-argumentasi keagamaan harus berhenti jika dibenturkan dengan realita sosial-ekonomi.

Lambat laun seiring redanya hujan para pengujung sidang klarifikasi pemasangan poster caleg di depan masjid bubar satu persatu. Masjid pun menjadi sepi, hanya terdengar rintihan entah dari siapa asalnya, “Astagfirullahal adzim”. []

AYUNG NOTONEGORO, santri Pondok Pesantren Al-Anwari Kertosri Banyuwangi, Jawa Timur. Aktif di Pimpinan Anak Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Kecamatan Banyuwangi Kota.
www.sarikata.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar