Minggu, 17 Februari 2013

Dengan Buku Kita Bisa Pergi ke Mana Pun

Forum bernama National Prayer Breakfast di Gedung Putih itu pada awal Februari 2013 ini melahirkan cerita unik. Hadir sebagai pembicara adalah Dr. Ben Carson, Direktur Bedah Saraf Johns Hopkins, yang bercerita tentang pentingnya kebijakan mengenai kesehatan.

Seperti yang ditulis The Wall Street Journal Carson memberikan masukan ke Presiden AS Barack Obama yang hadir dalam acara itu bersama Wakil Presiden Joe Biden. “Ini solusi saya: Ketika seseorang lahir, berikan ia akte kelahiran, catatan medis elektronis, dan tabungan kesehatan di mana uang dapat didistribusikan –sebelum pajak—dari sejak ia lahir hingga meninggal. Jika Anda meninggal, Anda dapat memberikan uang itu pada anggota keluarga Anda, dan tak seorang pun bicara death panel,” katanya. Koran tersebut membuat judul Ben Carson for President, sesuatu yang melahirkan spekulasi politik bahwa berambisi untuk jadi presiden AS berikutnya.

Namun buru-buru Ben meluruskan dugaan itu. “Saya tidak berpikir (pernyataan) itu politis. Seperti Anda ketahui saya adalah dokter. Saya terbiasa mendiagnosa banyak hal. Saya telah mendiagnosa beberapa masalah yang cukup cukup signifikan yang saya pikir banyak orang beresonansi dengannya."

Nama Ben Carson memang belakangan makin sering dikaitkan dengan isu politik setelah dirinya pensiun. Salah satunya adalah meraih kursi presiden. Ben sendiri adalah contoh khas orang Amerika yang berhasil meraih “American Dream” melalui perjuangan hidup yang inspiratif.

Ketika usianya menginjak tahun ke-8, orangtua Ben bercerai. Ben bersama kakaknya, Curtis, kemudian dibesarkan oleh ibunya seorang diri. Karena ibunya sibuk bekerja hampir sepanjang hari demi menafkahi keluarganya, Ben tumbuh menjadi anak yang bandel. Prestasinya di sekolah sangat mengecewakan. Dia pun menjadi bahan olok-olok teman-temannya. Belum lagi, Ben sering menjadi biang keributan di antara teman-temannya.

Karena kebandelan Ben sudah di ambang batas, ibu Ben terpaksa membuat aturan ketat baginya. Jam menonton televisinya dibatasi. Ia dilarang keluar rumah selama PR-nya belum diselesaikan. Selain itu, Ben diharuskan membaca dua buku dalam seminggu yang dipinjam ibunya dari perpustakaan. Ben pun diharuskan membuat laporan setiap buku yang dibacanya itu. Hasil dari upaya ini ternyata luar biasa. Ben mulai memperlihatkan kepintarannya. Bahkan, tak sampai setahun Ben tampil sebagai juara kelas.

Perkembangan Ben

Sebenarnya pada awalnya Ben sulit menyesuaikan aturan ibunya itu. Ia sering tergoda keluar rumah untuk bermain dengan teman-temannya. Namun, lama-lama terbiasa juga dan bahkan jadi gila buku. Ia jadi termotivasi untuk meraih masa depan yang lebih baik. “Dalam kondisi miskin kita tak akan punya kesempatan untuk pergi ke mana-mana. Namun dengan buku kita bisa pergi ke mana pun kita mau, bisa jadi orang seperti apa pun, dan bisa melakukan apa pun yang kita inginkan,” ungkap Ben.

Setelah lulus dari Yale pada tahun 1973, Ben melanjutkan ke School of Medicine University of Michigan dan memilih bidang saraf ketimbang psikologis yang jadi pilihannya. Dari sanalah ia membangun kariernya sebagai ahli saraf. Ketika lulus ia sudah dikenal sebagai dokter bedah saraf yang cekatan. Kecekatannya ini membuatnya bisa bekerja di John Hopkins Hospital di Baltimore, Maryland, dan menjadi kebanggaan rumah sakit yang terkenal di dunia ini. Bahkan dalam usianya yang ke-33, Ben Carson sudah menjadi profesor di rumah sakit itu dan menjadi direktur Pediatric Neurosurgery.

Pada tahun 2008 Presiden George Bush memberikan penghargaan The Presidential Medal of Freedom. Ben berusaha menyimpulkan kesuksesannya ini dengan berkata, “Ketika saya sedang belajar, ibu saya selalu bilang, ‘Kamu bisa melakukan apa saja yang orang lain lakukan, hanya saja kamu harus melakukannya dengan lebih baik’,” katanya.

Ya, siapa pun kita, bisa sukses asal mengerjakannya lebih baik dan lebih baik lagi.


____________

Foto: Nationalreview.com

sumber : www.andriewongso.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar