Rabu, 25 April 2012

Teh ini rasanya manis, ya?

Suatu petang selepas shalat Isya, seseorang datang ke tempat kang Soleh.
Pakaiannya rapi, di saku bajunyapun terselip sebuah pulpen parker. Sorot
matanya tajam, walau dibalut kaca mata minus. Kedatangannya ke tempat kang
Soleh hanya ingin berkonsultasi tentang merasakan manisnya ibadah.



Setelah berbasa – basi, orang itupun mulai bertanya kepada kang Soleh.



”Maaf nih kang, saya sudah bertanya ke beberapa orang tentang suatu hal,
yang menurut saya, sulit untuk difahami oleh saya. Penjelasan yang
diberikan oleh orang – orang yang saya ajak bicara, hanya bersifat verbal
dan sulit difahami oleh akal sehat saya” celoteh orang itu.



”Lo… kalau sampeyan, sudah bertanya ke beberapa orang mengapa masih tanya
kepada saya ?” jawab kang Soleh.



”Nah… justru saya tidak menemukan jawaban yang memuaskan, makanya saya
ingin bertanya kepada kang Soleh.”



”Jadi… apa nih, masalah sebenarnya ?”, tanya kang Soleh sambil terus senyum.



”Merasakan manisnya ibadah kang ….. ” celetuk orang itu.



”Lo… itu sudah jelas, tidak sedikit dalil yang menerangkan tentang manisnya
ibadah.” jawab kang Soleh.



”Justru itu kang, saya dibuat pusing……. sekarang logikanya begini kang,
bagaimana mungkin ibadah kok terasa manis? kalau maksiat dibilang manis,
itu masuk logika kang.” sergah orang itu.



Diam – diam kang Soleh mulai mengetahui arah pembicaraan orang yang ada di
depannya. Dari bibirnyapun terdengar lirih lantunan istighfar. Sementara
kang Soleh masih terdiam, orang itupun berkata lagi.



”Sekarang begini kang, seumpama saya bekerja di sebuah perusahaan sebagai
kepala bagian purchasing, otomatis semua vendor – vendor yang ingin
memasukkan barang ke tempat perusahaan saya bekerja, keputusannya ada di
tangan saya. Nah, di posisi yang seperti ini kang, bukankah korupsi
merupakan hal yang manis? dan saya pun yakin banyak orang yang
mengidam–idamkan posisi seperti yang saya tempati.


Kenapa? karena posisi basah kang, kenapa basah? ya … karena banyak sumber
uang yang bisa dikorupsi.”



Mendengar ocehan orang itu, kang Solehpun masih terdiam. Melihat diamnya
kang Soleh orang itupun kembali melanjutkan bicaranya.



”Terus sekarang kan lagi ramai – ramainya piala dunia kang, sudah menjadi
tren khususnya di kota – kota, ada acara nonton bareng piala dunia. Nah…
biar lebih jreng ada juga yang pakai taruhan, biar lebih semangat… kalau
jagoannya menang, selain senang, masih ada bonusnya kang… yakni dapat uang
taruhan, yang begini … nih… kan manis namanya.”



Sesaat kemudian, orang itu terlihat mengakhiri pembicaraannya. Kang
Solehpun masih terdiam termangu – mangu mendengar penuturan orang itu.



Dalam lubuh hati yang terdalam kang Soleh berkata, ”Orang seperti ini belum
tentu terbuka hatinya, bila dijawab langsung dengan menukil ayat–ayat Al
Qur’an ataupun Al Hadits, bagi dia hanya jawaban yang masuk logika yang
bisa ia terima.”



”Sudah, hanya itu ceritanya ?” mendadak kang Soleh bertanya.



”Ya itu kang, realita yang ada sekarang… yang membuat saya tidak bisa
mengerti, dan memahami, ”merasakan manisnya ibadah.” jawab orang itu.



Setelah terdiam sebentar, sesaat kemudian kang Soleh berkata, ”Mau minum
kopi atau teh manis, ni?”


”Teh manis, saja kang….. kalau tidak merepotkan”, jawab orang itu.



Sesaat kemudian, kang Solehpun meminta isterinya membuatkan dua gelas teh
manis untuk dirinya dan orang itu. Setelah sama – sama meminum, kang Soleh
berkata. ”Teh ini…. rasanya manis ya?”



” Ya … iya lah kang, wong pakai gula… ya jelas manis rasanya.” jawab orang
itu.



” Tapi, ada juga lo…. orang yang tidak bisa merasakan manisnya gula?” balas
kang Soleh.



”Ga mungkin kang…. sudah dari sononya gula rasanya manis, mau bodoh, mau
pinter, mau pejabat, mau pengemis…. kalau minum pakai campuran gula…jelas
rasanya manis.” jawab orang itu.



”Orang yang sedang sakit…………” jawab kang Soleh.



Orang itupun tersenyum …. mendengar jawaban kang Soleh. Sesaat kemudian
kang Soleh melanjutkan kata – katanya.



”Orang yang sedang sakit, tidak bisa merasakan manisnya gula. Terlepas yang
sakit oranga bodoh, orang pinter, pejabat, pengemis, disaat sedang sakit,
gula yang sejatinya rasanya manis terasa pahit dilidah orang sakit itu.”



”Rasa pahit yang ia rasakan, bukan karena gula tidak manis rasanya, namun
karena ia sedang dalam keadaan sakit…., ia tidak bisa merasakan manisnya
gula…. melainkan pahit, walaupun rasa gula yang sesungguhnya rasanya manis.”



”Orang yang sakit, bisa kembali merasakan manisnya rasa gula, ketika ia
sudah menjadi sehat. Ia bisa menjadi sehat dikala penyakit–penyakit dalam
tubuhnya sudah diobati dengan obat yang sesuai untuk penyakitnya, serta
ditangani oleh dokter yang memang ahli mengobati penyakit tersebut.”



”Di saat sakitnya telah sembuh, dan sehatnya telah kembali, maka orang
tersebut ketika meminum teh manis… bukan lagi pahit yang ia rasakan seperti
rasa saat sakit, melainkan manis yang ia rasakan sebagaimana rasa yang
dialami oleh orang – orang sehat lainnya.”



Mendengar penuturan dari kang Soleh, wajah orang itu sedikit kelihatan
pucat….diam–diam, ia mulai sedikit memahami pembicaraan kang Soleh. Setelah
menghela nafas, untaian kalimat meluncur dari kang Soleh.



”Orang yang hatinya mengidap penyakit tidak akan bisa merasakan manisnya
ibadah, walaupun dijelaskan dengan penjelasan panjang lebarpun tidak akan
bisa menerimanya, sebagaimana orang yang sedang sakit tidak bisa merasakan
manisnya gula, walaupun dijelaskan secara ilmiah tentang zat pemanis yang
terkandung di dalam gula.”



”Orang bisa merasakan manisnya ibadah, dikala penyakit–penyakit dihatinya
telah terobati, serta ditangani oleh guru pembimbing yang sempurna
sebagaimana ditangani oleh dokter – dokter ahli”



”Begitu mutlaknya guru pembimbing, karena hanya dengan pimbingannyalah kita
mengetahui jenis–jenis penyakit yang ada dalam hati kita, sebagaimana
seorang dokter lebih mengetahui jenis penyakit yang diderita oleh tubuh
kita, dibanding diri kita sendiri yang penuh kebodohan.”



”Orang – orang yang sakit hatinya, walaupun sedang beribadah dihamparan
permadani Rabbani dan berhadapan secara langsung secara hakiki dengan Allah
SWT, tidak bisa merasakan manisnya sebuah ibadah, padahal Allah sudah
sangat dekat dan bahkan lebih dekat dari urat lehernya sendiri.” []



Sumber: Tidak Diketahui

Tidak ada komentar:

Posting Komentar