Kamis, 05 April 2012

Kisah sayyidina Bilal dan Adzannya


Kisah ini, menunjukkan betapa mendalamdan besar kecintaan sahabat
pada Nabi, juga bagaimana rasa rindu yang sangat menyayat hati mereka.
Bahkan, sebenarnya sebab wafatnya Abu Bakar ash Shiddiq adalah karena
terbunuh oleh rindu pada Nabi yang membakar hatinya (sebagian riwayat
menyatakan, nafas beliau berbau seperti daging yang dipanggang).

Semua pasti tahu, bahwa pada masa Nabi, setiap masuk waktu sholat,
maka yang mengkumandangakan adzan adalahBilal bin Rabah. Bilal ditunjuk
karena memiliki suara yang indah. Pria berkulit hitam asal Afrika itu
mempunyai suara emas yang khas.

Posisinya semasa Nabi tak tergantikan oleh siapapun, kecuali saat
perang saja, atau saat keluar kota bersama Nabi. Karena beliau tak
pernah berpisah dengan Nabi, kemanapun Nabi pergi. Hingga Nabi menemui
Allah Ta’ala pada awal 11 Hijrah. Setelah itupun Bilal menyatakan diri
tak mau mengumandangkan adzan lagi. Ketika Khalifah Abu Bakar memintanya
untuk jadimu’adzin kembali, dengan hati pilu nan sendu bilal berkata,
“Biarkan aku jadi mu’adzin Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan
mu’addzin siapa-siapa lagi.”

Abu Bakar terus mendesaknya, dan Bilal pun bertanya, “ Dahulu,
ketika engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf. Apakah
engkau membebaskanmu karena dirimu apa karena Allah?” Abu Bakar terdiam.

“Jika engkau membebaskanku karena dirimu, maka aku bersedia jadi
mu’adzinmu. Tetapi jika engkau dulu membebaskanku karena Allah, maka
biarkan aku dengan keputusanku.” Dan Abu Bakar pun tak bisa lagi
mendesak Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan.

Kesedihan sebab ditinggal wafat Nabi, terus mengendap di hati Bilal.
Dan kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut
pasukan Fath Islamy menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria.

Lama Bilal tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Nabi
hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya, “YaBilal, wa maa hadzal jafa’?
Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?”

Bilal pun bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke
Madinah, untuk ziarah pada Nabi. Sekian tahun sudah dia meninggalkan
Nabi.

Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada
Nabi, pada sang kekasih. Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak
dewasa, mendekatinya. Keduanya adalah cucunda Nabi, Hasan dan Husein.

Sembari mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua
memeluk kedua cucu Nabi itu. Sebelum salah satu dari keduanya bilang
sesuatu hal, “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan
buat kami? Kami ingin mengenang kakek kami.”

Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah juga sedang
melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga memohon Bilal untuk
mengumandangkan adzan, meski sekali saja.

Bilal pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat, dia naik pada
tempat dahulu biasa dia adzan pada era Nabi. Mulailah dia
mengumandangkan adzan.

Saat lafadz “Allahu Akbar” dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh
Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang
telahbertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan
agung, suara yang begitu dirindukan, itu telah kembali.

Ketika Bilal meneriakkan kata “Asyhadu an laa ilaha illallah” ,
seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara itu sembari berteriak,
bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar.

Dan saat bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” ,
Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. Semua
menangis, teringat masa-masa indah bersama Nabi. Umar bin Khattab yang
paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan
adzannya. Lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai.

Hari itu, madinah mengenang masa saat masih ada Nabi. Tak ada
pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi.

Dan adzan itu, adzan yang tak bisa dirampungkan itu, adalah adzan
pertama Bilal sekaligus adzan terakhirnya semenjak Nabi wafat. Dia tak
pernah bersedia lagi mengumandangkan adzan. Sebab kesedihan yang sangat
segera mencabik-cabik hatinya mengenang seseorang yang karenanya dirinya
derajatnya terangkat begitu tinggi.

Karenanya, dia dan bangsanya, tak lagi dipandang remeh oleh bangsa
lain, tak lagi ter- marginal- kan. Sebab kemuliaan seseorang, tidak
ditentukan oleh warna kulitnya, oleh rasnya. Tetapi oleh taqwanya pada
Allah Ta’ala..


Sarkub.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar