Selasa, 25 September 2012

Makna Kebebasan Bagi Michael Gates Gill

Apa makna "kebebasan" bagi Michael Gates Gill? Lelaki yang sebelumnya sukses sebagai eksekutif di perusahaan iklan ternama AS itu justru terjerembab ke posisi terendah dalam hidupnya. Ia diceraikan istrinya, dipecat dari perusahaannya, dan divonis terkena tumor otak.
Namun justru di sanalah ia kemudian menemukan kebebasan. "Pekerjaan yang menawarkan banyak waktu luang tampaknya tak menguntungkan secara finansial. Tetapi pekerjaan yang mereka berikan (sebagai barista kedai kopi Starbucks) bisa memberikan banyak waktu luang untuk sukses secara finansial. Saya biasa menggunakan waktu luang untuk menulis buku yang segera akan difilmkan. Jika saya masih menjadi eksekutif sukses, saya tak akan pernah punya waktu untuk menulis," tuturnya.
Mike dilahirkan dari orangtua yang kaya. Ayahnya adalah penulis kenamaan Brendan Gill yang di masa jayanya menikmati kemasyhuran bak selebriti. Karena itu ia sebagai anaknya juga menikmati hidup dan tinggal di rumah sekelas mansion yang memiliki 25 kamar. Ia juga bisa sekolah hingga kuliah di universitas ternama dan setelahnya bekerja di perusahaan iklan ternama hingga mencapai posisi puncak sebagai creative director.
Tapi saat di posisi puncak ia terlibat pertengkaran dengan perusahaan. Ia kemudian dipecat. Setelah itu Mike mendirikan perusahaan konsultan sendiri. Saat itu usianya 53 tahun. Sepuluh tahun menjalankan usaha sendiri tak membuat usahanya maju. Perusahaannya kemudian bangkrut. Yang mengenaskan, saat itu ia terlibat affair dengan seorang perempuan muda. Istrinya tentu saja marah ketika mengetahuinya dan menceraikannya. Parahnya lain, perempuan muda itu justru meninggalkannya. Mike akhirnya hidup sendiri.
Ini belum apa-apa. Tak lama kemudian ia diketahui memiliki tumor di otaknya. Dengan kondisi tak punya uang, hidup sendiri, dan tak memiliki asuransi kesehatan, hidup Mike benar-benar terancam.
Suatu kali ia menikmati kopi di gerai Starbucks di kota tempatnya tinggal. Secara tak sengaja ia membaca lowongan pekerjaan di situ sebagai pelayan atau yang dalam istilah Starbucks dinamakan "barista". Tak pikir panjang ia menanyakannya apakah lowongan itu berlaku untuk dirinya yang usianya sudah 60-an tahun. Ternyata manajer gerai Starbucks itu mau menerimanya bekerja sebagai barista.
 
Michael Gates Gill, bekerja sebagai barista kedai kopi Starbucks 
Meski pada awalnya ada pertentangan dalam batinnya, akhirnya ia menerima pekerjaan yang ia sebut sebagai pekerjaan paling rendah itu. Gajinya sendiri hanya US$10,5 sejam.Saat memulainya ia harus belajar meramu kopi, menyajikannya ke para pembeli, belajar menguasai mesin uang, dan sebagainya. Ia harus melakukannya di tengah para barista yang usianya kurang dari separuh usianya.
"Ketika saya menerima pekerjaan itu, ada pukulan yang menghantam saya bahwa saya tak lagi punya uang, tak lagi punya jabatan. Apakah saya mantan creative director J Walter Thompson Company, perusahan iklan terbesar di dunia, menginginkan pekerjaan di Starbucks?" katanya. Tetapi pada sore harinya ia menemukan kebahagiaan yang belum pernah ia temukan. Ia merasakan suasana bekerja sangat membantu mengatasi kegalauan hatinya. Setiap orang di sana saling berinteraksi satu sama lain. Bahkan saat memberikan secangkir kopi pada pelanggan muncul kebahagiaan yang tak terbayangkan.
"Saya sudah menganggap menyajikan secangkir kopi itu bukanlah pekerjaan penting. Ternyata menyajikan kopi tak sekadar melayani pembeli. Kita melayani pelanggan kita dan rekan-rekan kita juga," katanya. "Ada sedikit perasaan indah yang kita dapat ketika kita membantu orang lain merasa lebih baik," katanya tentang profesi barista itu. Sejak itulah ia menyukai pekerjaan "low-level job" itu hingga ia mengaku tak mau melepasnya.
Meski gajinya kecil, itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang kini sederhana. Ia tak perlu lagi memikirkan barang mewah yang kadang setelah dibeli tak digunakan. Ia hanya membeli sesuatu yang dibutuhkan. Hidup dengan menyewa apartemen murah dan kecil serta perabot seadanya. Mike mengaku hidup barunya justru lebih membahagiakan. Begitu berbahagianya sampai menulis buku memoir dengan judul How Starbucks Saved My Life.
Buku itu ternyata laku dan mendapat apresiasi di mana-mana. "Bacaan yang mengagumkan," tulis The Wall Street Journal. Dan tentu saja itu melambungkan namanya. Ia juga diundang berbagai instansi untuk mengupas buku itu sekaligus sharing motivasi dengan khalayak lebih banyak. "Saya ingin membiarkan semua orang tahu bahwa kadang-kadang kita kehilangan hal-hal yang berharga, tetapi itu justru membawa kita pada hal baru yang lebih damai dan lebih membahagiakan," ujarnya.
Menurutnya, ia menemukan pelajaran hidup. "Kehilangan banyak hal telah membebaskan saya untuk menjadi saya yang sebenarnya. Ada kebebasan untuk memilih hidup tanpa diembel-embeli hal-hal berat. (Di sana) kita bisa mendapat kesempatan untuk melakukan apa yang ingin dilakukan dan menjadi orang yang benar-benar diinginkan," katanya. Namun seperti pada umumnya, sering kali kesadaran itu harus dimulai dari "kecelakaan" seperti juga yang dialami Mike. 

sumber : www.andriewongso.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar