Jumat, 13 Juli 2012

Open Your Mind


SUATU ketika seorang mahasiswa tingkat undergraduate mengetuk ruang kerja
saya di Bevier Hall– University of Illinois, Amerika Serikat (AS).

Sebagai teaching assistant di kampus itu, saya bertugas menggantikan
seorang profesor yang mengajar mata kuliah consumer economics. Selain
mengajar, saya juga membuat sebagian soal ujian dan memeriksanya. Dengan
mimik penuh percaya diri, dia menyampaikan masalahnya. Dia menunjuk lembar
jawaban soal yang terdiri atas pilihan berganda (multiple choice) yang baru
saja dia terima.Nilai yang dia dapat tidak terlalu jelek,tetapi dia kurang
puas dan mengajak saya berdiskusi, khusus pada sebuah soal yang dianggapnya
terbuka untuk didiskusikan. Setelah membacanya kembali, tiba-tiba saya
tersadar, soalnya memang konyol sekali.

Pertanyaannya kurang lebih seperti ini. "Berapa lama rata-rata rumah tangga
menggunakan handuk mandi?" Tentu saja setiap orang punya jawaban yang
berbeda-beda. Namun karena mata kuliah ini didasarkan atas hasil riset,
maka mahasiswa harus menguasai dasardasar perilaku konsumen yang datanya
diperoleh secara riil dari riset. Jawabannya semua ada di buku teks. Jadi
kalau buku dibaca atau bahan kuliah dipelototi, pasti mereka mudah
menemukan jawabannya. Di buku teks jawaban tertulis, rata-rata rumah tangga
mengonsumsi handuk selama delapan tahun. Dia memilih jawaban dua
tahun.Tentu saja saya mencoretnya.

Bagi seorang guru, menemukan murid seperti ini mungkin biasa saja. Namun
cerita berikut ini mungkin dapat mengubah pandangan Anda tentang cara
mendidik atau bahkan membimbing orang lain, karyawan,atau bahkan diri
sendiri agar berhasil dalam hidup.

Kekuatan Argumentasi

Mahasiswa saya tadi mengajak saya berdiskusi, "Prof," ujarnya. "Jawaban ini
salah." Saya mengernyitkan dahi.Maklum, belum pernah saya mendengar seorang
mahasiswa di tingkat persiapan berani-beraninya menyalahkan soal, apalagi
menyalahkan isi buku. "Maksud saya, setelah saya tanya-tanya ke kiri-kanan,
tak ada orang yang menyimpan handuk mandi sampai 8 tahun,"lanjutnya.

"Jadi berapa tahun?" tanya saya. "Yadua tahun.Ini jawaban saya
benar,"katanya lagi. Saya pun teringat dengan cara teman-teman saya sewaktu
kuliah dulu mengakali dosen yang "lemah". Dosen seperti itu biasanya
gampang diajak kompromi dan kalau kita pintar mengambil hatinya, angka bisa
berubah.Maka,di kepala saya,berkompromi bukanlah karakter saya. Berkompromi
sama dengan kelemahan, lembek, merendahkan martabat, plinplan. "Jadilah
guru yang teguh." Kalimat itu terus mengalir di hati saya. Kompromi itu
jelek, lemah, tidak konsisten, tidak berwibawa. "Ah, kamu ini cuma cari
pembenaran saja. Ini justifikasi namanya.Pokoknya jawaban Anda salah.

Apa Anda tidak baca buku. Coba buka halaman 40," ujar saya pada mahasiswa
tadi. "Betul,"katanya lagi. "Di buku memang tertulis begitu.Saya tahu."
"Ah, Anda tidak baca saja…," ujar saya lagi. "Bukan, tetapi ini tidak masuk
akal." Dia mencoba menjelaskan.Namun sebagai orang Indonesia yang terbiasa
dididik tanpa kompromi di sekolah, saya mencoba untuk tidak mendengarkan
argumentasinya. Saya khawatir wibawa saya terganggu. Dosen kokdidebat.
Namun dia tetap menjelaskan panjang lebar bahwa sekarang tidak ada lagi
handuk yang seawet itu.

Dua tahun sudah rusak."Dulu sabunnya tidak sekuat yang sekarang, lagipula
mana ada produsen yang mau membuat handuk dengan material yang kuat dan
harganya mahal? Konsumen memilih yang terjangkau dan produsen memilih
barang-barang yang murah.Kalau cepat rusak tak apa-apa,setelah itu beli
lagi,"katanya bersemangat. Matanya berbinar menjelaskan gagasannya dan
penuh harap saya mau mengubah pendapat saya. Saya masih ingat dia
menjelaskan tentang mesin cuci yang dulu tidak dipakai rumah tangga
sehingga tidak merusak material. Lama kita berdebat dan sebenarnya saya
suka mempunyai peserta didik yang kritis seperti itu. Namun, sebagai guru
dari Indonesia, saya tidak suka ditawar-tawar.

Ini soal integritas. "Nope," jawab saya menolak permohonannya agar saya
mengoreksi nilainya. Dia pun keluar dengan kecewa. Saya berpikir, urusan
pun selesai. Namun, di luar dugaan, setengah jam kemudian dia kembali lagi.
Kali ini dia datang diantar profesor saya.Seperti tak ada masalah sama
sekali profesor itu datang dengan penuh senyum. "Rhenald,"ujarnya. "I talk
to this guy, and I like his idea." Sudah tahu arahnya, saya pun segera
menukas."Yes, he did talk to me, and indeed he was wrong. He didn't give
the right answer," ujar saya.

"Saya mengerti," jawab profesor itu,"Tapi perhatikan ini.Saya suka cara
berpikirnya. Dia memang memberi jawaban yang berbeda dengan buku, tetapi
argumentasinya kuat dan dia benar." Singkat cerita, profesor itu meminta
saya agar mendengarkannya dan memahami logika anak itu. Kejadian itu sekali
lagi telah membuka pikiran saya. Betapa memalukannya otak reptil saya. Guru
kok tertutup. Namun, saya beruntung segera menyadari kesalahan saya. Saya
belajar bahwa saya menganut nilai-nilai yang salah.Tertutup, tak
berkompromi, tegas, teguh, terlalu mengedepankan wibawa hanyalah merupakan
bentuk defensif saya sebagai guru yang sebenarnya hanya perwujudan dari
rasa takut yang berlebihan saja.

Takut dibilang lembek, kompromistis, mudah dirayu, tidak objektif,dan
sebagainya.Pendapat yang semula saya tentang kini harus saya terima dan
nilai anak itu saya koreksi. Bahkan seperti penjual kacang rebus yang suka
menambah kacang ke dalam bungkusan pelanggannya, saya pun memberikan bonus
angka kepadanya. Mendidik adalah lebih dari sekadar menjaga imej.

Mendidik adalah proses menjadikan orang lain seorang "master" dan bukan
menciptakan pengikut.Yang ingin kita lahirkan adalah manusia yang mampu
berpikir,terbuka terhadap logika. Bukan manusia-manusia dogmatik yang hanya
mengikuti maunya kita,menulis apa yang kita diktekan, berpendapat apa yang
menjadi pikiran kita, dan tak bisa menerima perbedaan pendapat. Malas
berpikir.

Keluar dari Buku

Kisah anak-anak yang tak mampu berpikir di luar buku teks sudah banyak kita
saksikan. Salah satu film yang paling saya suka dan selalu saya pakai untuk
mengajari dosen-dosen muda menjadi pendidik adalah potongan film yang
dibintangi Julia Roberts berjudul Monalisa Smile. Dalam film itu dikisahkan
kesulitan seorang guru yang mengajar karena setiap kali dia menampilkan
slide yang diambil dari buku, selalu disambar muridmuridnya yang berebut
menjelaskan.

Dia benar-benar bingung. Muridnya aktif-aktif dan pintarpintar. Mereka
sudah membaca assignment sebelum pelajaran dimulai.Mereka benar-benar telah
mempersiapkan diri dengan baik sebelum masuk kelas dengan membaca, membuat
ringkasan, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat dan aktif berbicara.
Hari pertama mengajar dia gagal total. Namun minggu berikutnya, setelah
merenungi dalam-dalam, dia mendapatkan ide. Kali ini dia mengajak
muridmuridnya keluar dari buku teks. Dia menunjukkan slide yang sama sekali
baru.Tak ada di buku dan bahan ajarannya sama sekali baru. "Coba lihatlah
gambar ini. Apakah ini bagus?" Semua murid tertegun.

Gambar itu belum pernah mereka lihat dan tanpa referensi mereka tidak punya
acuan sama sekali.Padahal, selama ini mereka hanya mengikuti perintah buku.
Gambar itu bagus kalau kalimat di buku berkata gambar itu bagus. Sekarang
saat gambar itu tak ada penjelasannya, mereka pun tak berani berpendapat.
Mereka saling lihat kirikanan. Seorang yang mencoba menjawab kebingungan.
"Apakah ada gambar yang bagus?" "Siapa yang berhak mengatakannya?" "Sesuatu
yang bagus itu akan menjadi bagus tergantung siapa yang mengatakannya."
Mereka terbelah. Ibu guru pun menjelaskan wisdom-nya. "Look, kalian baru
saja keluar dari cara berpikir buku teks," ujarnya.

Dia mengajarkan perihal kehidupan, yaitu berani berpendapat dan membuat
keputusan pribadi. Apa yang dapat dipelajari dari film Monalisa Smile dan
kasus yang saya alami saat saya menjadi teaching assistant di University of
Illinois dan berhadapan dengan mahasiswa yang minta agar saya mengoreksi
jawaban soalnya 15 tahun yang lalu itu? Benar! Kita adalah manusia dan
tugas guru adalah mendidik manusia,memerdekakannya dari segala tekanan,
dari perilakuperilaku buruk, dari pikiranpikiran negatif, dari rasa sok
pintarnya yang sesungguhnya belum apa-apa, dari belenggu-belenggu dogma,
dan mengajaknya melihat keindahan dari apa yang diciptakan Tuhan.

Dari semua itu,yang terpenting adalah bagaimana kita hidup dengan otak yang
terbuka dan mengajarkan keterbukaan. Bukankah otak kita bekerjanya seperti
parasut, yang artinya dia baru bisa dipakai kalau dia mengembang dan
terbuka? Itulah yang saya ajukan selama ini kepada anak-anak didik saya dan
terbukti mereka mampu menjadi orang-orang yang hebat. Itu pula yang saya
sharing-kan kepada para guru dan dosen. Sebagian orang cepat mengubah diri,
tapi sebagian pendidik lain tidak peduli dengan cara ini. Mereka tetap
ingin mengajar dengan cara-cara dogmatik. Ingin dipuja tanpa
argumentasi,tak mau mendengarkan, takut dibilang lembek, dan ingin diterima
bak seorang ulama besar yang tak terbantahkan. Itulah hidup, tak semua
orang mau berubah. Namun Anda tak perlu cemas.

Orang-orang seperti itu sudah pernah menyurati saya dengan amarah
berlembar-lembar. Mereka menembaki saya dengan ratusan peluru. Di antara
suratsurat cinta mereka pun ada yang berisi ancaman, memperingatkan saya
dan mengusir dari keguruan ini. Namun saya berkeyakinan, seorang pendidik
sejati tak akan menyerah oleh ancaman-ancaman kosong. Dia tak berorientasi
pada persaingan, melainkan pada masa depan anak-anaknya.(*)


 oleh : Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar