Apa makna "kebebasan" bagi Michael Gates Gill? Lelaki yang
sebelumnya sukses sebagai eksekutif di perusahaan iklan ternama AS itu
justru terjerembab ke posisi terendah dalam hidupnya. Ia diceraikan
istrinya, dipecat dari perusahaannya, dan divonis terkena tumor otak.
Namun justru di sanalah ia kemudian menemukan kebebasan. "Pekerjaan yang
menawarkan banyak waktu luang tampaknya tak menguntungkan secara
finansial. Tetapi pekerjaan yang mereka berikan (sebagai barista kedai
kopi Starbucks) bisa memberikan banyak waktu luang untuk sukses
secara finansial. Saya biasa menggunakan waktu luang untuk menulis buku
yang segera akan difilmkan. Jika saya masih menjadi eksekutif sukses,
saya tak akan pernah punya waktu untuk menulis," tuturnya.
Mike dilahirkan dari orangtua yang kaya. Ayahnya adalah penulis kenamaan
Brendan Gill yang di masa jayanya menikmati kemasyhuran bak selebriti.
Karena itu ia sebagai anaknya juga menikmati hidup dan tinggal di rumah
sekelas mansion yang memiliki 25 kamar. Ia juga bisa sekolah
hingga kuliah di universitas ternama dan setelahnya bekerja di
perusahaan iklan ternama hingga mencapai posisi puncak sebagai creative director.
Tapi saat di posisi puncak ia terlibat pertengkaran dengan perusahaan.
Ia kemudian dipecat. Setelah itu Mike mendirikan perusahaan konsultan
sendiri. Saat itu usianya 53 tahun. Sepuluh tahun menjalankan usaha
sendiri tak membuat usahanya maju. Perusahaannya kemudian bangkrut. Yang
mengenaskan, saat itu ia terlibat affair dengan seorang
perempuan muda. Istrinya tentu saja marah ketika mengetahuinya dan
menceraikannya. Parahnya lain, perempuan muda itu justru
meninggalkannya. Mike akhirnya hidup sendiri.
Ini belum apa-apa. Tak lama kemudian ia diketahui memiliki tumor di
otaknya. Dengan kondisi tak punya uang, hidup sendiri, dan tak memiliki
asuransi kesehatan, hidup Mike benar-benar terancam.
Suatu kali ia menikmati kopi di gerai Starbucks di kota tempatnya tinggal. Secara tak sengaja ia membaca lowongan pekerjaan di situ sebagai pelayan atau yang dalam istilah Starbucks dinamakan
"barista". Tak pikir panjang ia menanyakannya apakah lowongan itu
berlaku untuk dirinya yang usianya sudah 60-an tahun. Ternyata manajer
gerai Starbucks itu mau menerimanya bekerja sebagai barista.
Michael Gates Gill, bekerja sebagai barista kedai kopi Starbucks
Meski pada awalnya ada pertentangan dalam batinnya, akhirnya ia menerima
pekerjaan yang ia sebut sebagai pekerjaan paling rendah itu. Gajinya
sendiri hanya US$10,5 sejam.Saat memulainya ia harus belajar meramu
kopi, menyajikannya ke para pembeli, belajar menguasai mesin uang, dan
sebagainya. Ia harus melakukannya di tengah para barista yang usianya
kurang dari separuh usianya.
"Ketika saya menerima pekerjaan itu, ada pukulan yang menghantam saya
bahwa saya tak lagi punya uang, tak lagi punya jabatan. Apakah saya
mantan creative director J Walter Thompson Company, perusahan iklan terbesar di dunia, menginginkan pekerjaan di Starbucks?"
katanya. Tetapi pada sore harinya ia menemukan kebahagiaan yang belum
pernah ia temukan. Ia merasakan suasana bekerja sangat membantu
mengatasi kegalauan hatinya. Setiap orang di sana saling berinteraksi
satu sama lain. Bahkan saat memberikan secangkir kopi pada pelanggan
muncul kebahagiaan yang tak terbayangkan.
"Saya sudah menganggap menyajikan secangkir kopi itu bukanlah pekerjaan
penting. Ternyata menyajikan kopi tak sekadar melayani pembeli. Kita
melayani pelanggan kita dan rekan-rekan kita juga," katanya. "Ada sedikit perasaan indah yang kita dapat ketika kita membantu orang lain merasa lebih baik,"
katanya tentang profesi barista itu. Sejak itulah ia menyukai pekerjaan
"low-level job" itu hingga ia mengaku tak mau melepasnya.
Meski gajinya kecil, itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang
kini sederhana. Ia tak perlu lagi memikirkan barang mewah yang kadang
setelah dibeli tak digunakan. Ia hanya membeli sesuatu yang dibutuhkan.
Hidup dengan menyewa apartemen murah dan kecil serta perabot seadanya.
Mike mengaku hidup barunya justru lebih membahagiakan. Begitu
berbahagianya sampai menulis buku memoir dengan judul How Starbucks Saved My Life.
Buku itu ternyata laku dan mendapat apresiasi di mana-mana. "Bacaan yang mengagumkan," tulis The Wall Street Journal. Dan tentu saja itu melambungkan namanya. Ia juga diundang berbagai instansi untuk mengupas buku itu sekaligus sharing motivasi dengan khalayak lebih banyak. "Saya ingin membiarkan semua orang tahu bahwa kadang-kadang
kita kehilangan hal-hal yang berharga, tetapi itu justru membawa kita
pada hal baru yang lebih damai dan lebih membahagiakan," ujarnya.
Menurutnya, ia menemukan pelajaran hidup. "Kehilangan banyak hal telah membebaskan saya untuk menjadi saya yang sebenarnya.
Ada kebebasan untuk memilih hidup tanpa diembel-embeli hal-hal berat.
(Di sana) kita bisa mendapat kesempatan untuk melakukan apa yang ingin
dilakukan dan menjadi orang yang benar-benar diinginkan," katanya. Namun
seperti pada umumnya, sering kali kesadaran itu harus dimulai dari
"kecelakaan" seperti juga yang dialami Mike.
sumber : www.andriewongso.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar