"Sekarang, bayangkan rumah ibu yang rapi dan karpet ibu yang bersih, tak ternoda, dan tanpa jejak sepatu. Bagaimana perasaan ibu?" lanjut Virginia.
Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah. Mukanya yang murung berubah cerah. Dia senang dengan bayangan yang dilihat di benaknya.
"Itu artinya tidak ada seorang pun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak. Tak terdengar senda gurau dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi."
Mendengar ucapan psikolog tersebut, seketika muka sang ibu berubah keruh. Senyumnya langsung menghilang. Di antara helaan napasnya terdengar suara isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.
Virgina meneruskan sesi terapinya. "Sekarang, coba ibu lihat kembali karpet itu. Ibu melihat jejak sepatu dan kotoran di sana. Itu artinya suami dan anak-anak ada bersama Ibu dan menghangatkan hati ibu." Dengan kalimat-kalimat ini, sang ibu mulai tersenyum kembali.
"Sekarang, bukalah mata ibu." Setelah sang ibu membuka matanya, Virginia bertanya, "Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?" Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Kotoran di atas karpet atau di benda mana pun masih bisa diusahakan untuk dibersihkan, sehingga kondisinya bisa kembali bersih. Namun apabila yang menjadi "kotor" adalah hubungan keluarga kita (baca: hilangnya kehangatan dan cinta kasih dari orang-orang terkasih), bagaimanakah kita bisa "membersihkannya" (baca: menemukan kembali kehangatan kasih keluarga)?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar