Kamis, 30 Januari 2014

4 Tahapan Orang Bekerja Menurut Salah Satu Orang Terkaya Indonesia

http://images.detik.com/content/2014/01/29/4/113030_20140128_103745s.jpg
Jakarta -Salah satu orang terkaya di Indonesia, Tahir, memiliki filosofi unik soal pekerjaan. Menurutnya, orang yang bekerja itu terdiri dari 4 tahapan.

Tahir yang baru saja memberikan hibah bantuan uang Rp 6 miliar ke pemprov DKI Jakarta untuk penanggulangan banjir ini menganggap kerja berdasarkan hobi adalah kelas manusia terendah. Itu adalah pemikiran yang terlalu kebarat-baratan.

"Pertama yang paling rendah adalah kerja sesuatu atas hobi. Itu sangat pemikiran barat, be yourself. Saya tidak setuju. Saya kerja sesuatu bukan karena hobi. Kalau begitu itu kelas terendah," kata suami dari Rosy ini saat berkunjung ke kantor detikcom di Jakarta, Selasa (28/1/2014).

Tahir yang juga pendiri Mayapada Group mengatakan kedua adalah tahapan orang yang bekerja karena tanggung jawab. Orang yang bekerja karena tanggung jawab berada satu tahap lebih tinggi dibanding yang berdasarkan hobi. Ini merupakan hal yang wajib.

"Naik satu tingkat di atas adalah kerja karena tanggung jawab. Kalau saya berani nikah, saya harus bisa menjadi suami bertanggung jawab. Kalau nggak, saya jangan naik ring (tinju/menikah)," lanjutnya.

Ketiga adalah bekerja karena ahli. Orang kaya dermawan ini mengatakan, kerja berdasarkan ahli merupakan hasil dari bekerja karena tanggung jawab.

"Misalkan saya kerja di mobil. Saya tidak senang tapi karena saya tanggung jawab saya kerja di situ, pelan-pelan saya menjadi ahlinya. Mungkin suatu hari saya bisa buka pabrik assembling dan lainnya," lanjut pria kelahiran 1952 ini.

Terakhir, yang terpenting menurut Tahir adalah bekerja yang memiliki visi. Seolah percuma bagi Tahir jika bekerja tidak memiliki visi atau tujuan yang jelas.

"Menjadi presiden, orang kaya, terkenal, menteri itu bukan tujuan hidup. Itu hanya jalan alat yang kita pakai untuk sebuah tujuan. Tujuan semua sama, yaitu membawa berkah untuk orang lain. Mulai dari keluarga dulu. Orang yang bisa benahin keluarga baru bisa benahin negara," tambahnya.

"Hanya visioner yang bisa mengubah negara ini," tutupnya.(zul/ang)

Zulfi Suhendra - detikfinance
http://finance.detik.com/read/2014/01/29/112919/2481627/4/

Rabu, 29 Januari 2014

Mengelola Uang Ala Keturunan Tionghoa

Sekitar 7 dari 10 orang terkaya di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Filipina adalah keturunan Tionghoa. Tentu kesuksesan mereka tak lepas dari latar belakang budayanya.

Di saat Tahun Baru Cina ini, mari melongok nilai positif dari Kebudayaan Tionghoa, khususnya terkait pengelolaan uang. Apa yang membuat mereka sukses?

Saya yang bukan keturunan Tionghoa, banyak bergaul dengan mereka. Terutama saat di perguruan tinggi. Satu dari banyak rekan Tionghoa saya adalah pemilik perusahaan furnitur besar di Indonesia. Dari dia, saya banyak belajar budaya Tionghoa yang ia terapkan dalam bisnis dan mengelola uang.

Tak bisa dimungkiri, keturunan Tionghoa  yang sukses secara finansial memiliki beberapa prinsip dasar yang dipegang teguh. Baik dari agama maupun budaya leluhur mereka, walaupun kebudayaan aslinya akan melebur dengan kebudayaan lokal di mana mereka tinggal.

Hemat dan cermat dalam mengelola uang
Banyak yang berpendapat keturunan Tionghoa pelit. Sebenarnya tidak seperti itu. Mereka cermat mengeluarkan uang. Kalau saya menganjurkan 10-20% pendapatan disisihkan untuk tabungan masa depan, keturunan Tionghoa mampu minimal 50%.

Teks Cina klasik Dao De Jing menyatakan, tiga harta terbesar yang dapat dimiliki adalah cinta, berhemat, dan kemurahan hati. Berhemat merupakan bagian integral dari budaya Tionghoa. Materi seperti mobil atau rumah mewah tak mampu membuat mereka merasa nyaman secara finansial. Tapi, jumlah rekening tambun yang membuatnya merasa aman.

Takut Akan Ketidakpastian di Masa Depan
Ketika banyak masyarakat memilih hidup hanya untuk saat ini, orang Tionghoa justru takut terhadap ketidakpastian masa depan. Mereka berusaha menyambut kehidupan di kemudian hari dengan persiapan yang baik.

Hal ini berasal dari nilai Konghucu: "Di masa damai bersiaplah untuk perang”. Prinsip ini  kemudian diletakkan dalam perspektif untuk selalu bersiap-siap akan datangnya masa sulit, bahkan pada saat hidup berlimpah harta.

Mengerti Cara Membuat Uang Tumbuh
Menjadi masyarakat yang sangat gemar menabung menjadikan keturunan Tionghoa faham bagaimana cara membuat uang bekerja untuk mereka. Mereka tahu, menabung saja tidak membuat mereka sukses secara finansial.

Karena itu, mereka lebih senang berbisnis. Kalaupun bekerja, keturunan Tionghoa akan mencari produk keuangan yang memberikan imbal hasil paling besar. Mereka sadar, beda 0,5% saja akan memberi pengaruh besar dalam membentuk kekayaan secara jangka panjang.

Mengejar Jumlah
Kebanyakan keturunan Tionghoa tidak berbisnis yang canggih. Namun, yang dibutuhkan banyak orang. Bagi mereka, pada awalnya, prinsip yang dipegang adalah lebih baik cuan (untung) sedikit tetapi sering daripada untung besar namun hanya sekali.

Mereka juga menyadari untuk memiliki sumber pemasukan sebanyak mungkin dan pengeluaran seminim mungkin. Pebisnis Tionghoa akan terus mengembangkan bisnisnya pada berbagai instrumen sehingga memiliki multi income.

Tidak Berutang
Keturunan Tionghoa bangga untuk menjadi bebas utang.  Bagi mereka, meminjam uang dari teman atau bahkan kerabat adalah opsi terakhir dari masalah finansial.

Mereka malu berutang.  Bila tak bisa dihindari, mereka berusaha melunasinya segera. Kegagalan memenuhi kewajiban justru lebih memalukan. Mereka tidak akan berani menodai nama baik.

Tidak tabu membicarakan uang
Keturunan Tionghoa terbuka mengenai kondisi finansial. Mengungkapkan gaji atau pendapatan bukanlah sesuatu hal yang tabu. Bahkan bisa menjadi bahan pembicaraan di saat Anda baru saling mengenal.

Bukan tidak sopan. Namun, untuk menilai lebih jauh bagaimana seseorang hidup dengan suatu pendapatan dan pada akhirnya tahu siapa yang harus dibantu.

Selalu Menawar untuk Mendapat Nilai Terbaik
Di negara maju, saat kita menawar sering kali dianggap pelit. Di Cina, tawar-menawar adalah cara hidup. Jika Anda pernah mengunjungi negara tersebut dan masuk toko, sebaiknya tawar harga awal hingga 50-70%.

Walaupun belakangan ini banyak yang menerapkan "tidak ada tawar-menawar ", Anda tetap masih akan menemukan vendor lain yang bersedia negosiasi. Hal ini dilakukan demi mendapatkan harga terbaik dari barang yang ingin mereka miliki.

Memberi yang Terbaik Untuk Orang Tua dan Guru
Satu hal yang paling saya kagumi dari banyak keturunan Tionghoa adalah penghormatan terhadap orang tua dan guru karena dianggap berjasa. Tidak ada tawar-menawar untuk memberikan yang terbaik kepada mereka. Diyakini, berbakti kepada orang tua dan guru akan memberikan kedamaian dan kehidupan yang lebih baik.

Nah, jika kita ingin sukses, perbanyaklah belajar dari keberhasilan orang lain. Sepanjang tidak merugikan orang dan mendatangkan manfaat, mengapa tidak?

To Serenity,



undefined
Dwita Ariani, MM, RFA, RIFATwitter: @BundaWita
Financial educator dari Zelts Consulting

http://id.berita.yahoo.com/mengelola-uang-ala-keturunan-tionghoa--065022743.html

Senin, 27 Januari 2014

Kisah Seorang Yahudi yang Mengislamkan Jutaan Orang

Di suatu tempat di Prancis sekitar lima puluh tahun yang lalu, ada seorang berkebangsaan Turki berumur 50 tahun bernama Ibrahim. Ia adalah orangtua yang menjual makanan di sebuah toko makanan. Toko tersebut terletak di sebuah apartemen di mana salah satu penghuninya adalah keluarga Yahudi yang memiliki seorang anak bernama "Jad" berumur 7 tahun. Jad, si anak Yahudi Hampir setiap hari mendatangi toko tempat di mana Ibrahim bekerja untuk membeli kebutuhan rumah. Setiap kali hendak keluar dari toko-dan Ibrahim dianggapnya lengah-Jad selalu mengambil sepotong cokelat milik Ibrahim tanpa seizinnya. Pada suatu hari usai belanja, Jad lupa tidak mengambil cokelat ketika mau keluar, kemudian tiba-tiba Ibrahim memanggilnya dan mengatakan kalau ia lupa mengambil sepotong cokelat sebagaimana biasanya. Jad kaget, karena ia mengira bahwa Ibrahim tidak mengetahui apa yang ia lakukan selama ini. Ia pun segera meminta maaf dan takut jika saja Ibrahim melaporkan perbuatannya tersebut kepada orangtuanya. "Tidak apa, yang penting kamu berjanji untuk tidak mengambil sesuatu tanpa izin, dan setiap saat kamu mau keluar dari sini, ambillah sepotong cokelat, itu adalah milikmu", ujar jad sebagai tanda persetujun. Waktu berlalu, tahun pun berganti dan Ibrahim yang seorang Muslim kini menjadi layaknya seorang ayah dan teman akrab untuk Jad si anak Yahudi Sudah menjadi kebiasaan Jad saat menghadapi masalah, ia selalu datang dan berkonsultasi kepada Ibrahim. Dan setiap kali Jad selesai bercerita, Ibrahim selalu mengambil sebuah buku dari laci, memberikannya kepada Jad dan kemudian menyuruhnya untuk membukanya secara acak. Setelah Jad membukanya, kemudian Ibrahim membaca dua lembar darinya, menutupnya dan mulai memberikan nasehat dan solusi dari permasalahan Jad. Beberapa tahun pun berlalu dan begitulah hari -hari yang dilalui Jad bersama Ibrahim, seorang Muslim Turki yang tua dan tidak berpendidikan tinggi. 14 Tahun Berlalu Jad kini telah menjadi seorang pemuda gagah dan berumur 24 tahun, sedangkan Ibrahim saat itu berumur 67 tahun. Alkisah, Ibrahim akhirnya meninggal, namun sebelum wafat ia telah menyimpan sebuah kotak yang dititipkan kepada anak-anaknya di mana di dalam kotak tersebut ia meletakkan buku yang selalu ia baca setiap kali Jad berkonsultasi kepadanya. Ibrahim berwasiat agar anak-anaknya nanti memberikan buku tersebut sebagai hadiah untuk Jad, seorang pemuda Yahudi. jad baru mengetahui wafatnya Ibrahim ketika putranya menyampaikan wasiat untuk memberikan sebuah kotak. Jad pun merasa terguncang dan sangat bersedih dengan berita tersebut, karena Ibrahim-lah yang selama ini memberikan solusi dari semua permasalahannya, dan Ibrahim lah satu-satunya teman sejati baginya. Hari- haripun berlalu, Setiap kali dirundung masalah, Jad selalu teringat Ibrahim. Kini ia hanya meninggalkan sebuah kotak. Kotak yang selalu ia buka, di dalamnya tersimpan sebuah buku yang dulu selalu dibaca Ibrahim setiap kali ia mendatanginya. Jad lalu mencoba membuka lembaran-lembaran buku itu , akan tetapi kitab itu berisikan tulisan berbahasa Arab sedangkan ia tidak bisa membacanya. Kemudian ia pergi ke salah seorang temannya yang berkebangsaan Tunisia dan memintanya untuk membacakan dua lembar dari kitab tersebut. Persis sebagaimana kebiasaan Ibrahim dahulu yang selalu memintanya membuka lembaran kitab itu dengan acak saat ia datang berkonsultasi. Teman Tunisia tersebut kemudian membacakan dan menjelaskan makna dari dua lembar yang telah ia tunjukkan. Dan ternyata, apa yang dibaca oleh temannya itu, mengena persis ke dalam permasalahan yang dialami Jad kala itu. Lalu Jad bercerita mengenai permasalahan yang tengah menimpanya, Kemudian teman Tunisianya itu memberikan solusi kepadanya sesuai apa yang ia baca dari kitab tersebut. Jad pun terhenyak kaget, kemudian dengan penuh rasa penasaran ini bertanya, "Buku apa ini?"

Ia menjawab, "Ini adalah Al-Qur'an, kitab sucinya orang Islam! " Jad sedikit tak percaya, sekaligus merasa takjub, Jad lalu kembali bertanya, "Bagaimana caranya menjadi seorang muslim?" Temannya menjawab, "Mengucapkan syahadat dan mengikuti syariat!" Setelah itu, dan tanpa ada rasa ragu, Jad lalu mengucapkan Syahadat, ia pun kini memeluk agama Islam! Islamkan 6 juta orang Kini Jad sudah menjadi seorang Muslim, kemudian ia mengganti namanya menjadi Jadullah Al-Qur'ani sebagai rasa takdzim pada kitab Al-Qur'an yang begitu istimewa dan mampu menjawab seluruh problema hidupnya selama ini . Dan sejak saat itulah ia memutuskan akan menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi menyebarkan ajaran Al-Qur'an. Mulailah Jadullah mempelajari Al-Qur'an serta memahami isinya, dilanjutkan dengan berdakwah di Eropa sampai berhasil mengislamkan enam ribu Yahudi dan Nasrani. Suatu hari, Jadullah membuka lembaran-lembaran Al-Qur'an hadiah dari Ibrahim itu. Tiba-tiba ia menemukan sebuah lembaran bergambarkan peta dunia. Pada saat matanya tertuju pada gambar benua Afrika, nampak di atasnya tertera tanda tangan Ibrahim dan bawah tanda tangan itu tertuliskan ayat: ((ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة ...!!)) "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik!! ..." [ QS. An-Nahl; 125] Iapun yakin bahwa ini adalah wasiat dari Ibrahim dan ia memutuskan untuk melaksanakannya. Beberapa waktu kemudian Jadullah meninggalkan Eropa dan pergi berdakwah ke negara-negara Afrika yang di antaranya adalah Kenya, Sudan bagian selatan (yang mayoritas penduduknya adalah Nasrani), Uganda dan negara-negara sekitarnya. Jadullah berhasil mengislamkan lebih dari 6.000.000 (enam juta) orang dari suku Zulu, ini baru satu suku, belum dengan suku-suku lainnya. Akhir Hayat Jadullah Jadullah Al-Qur'ani, seorang Muslim sejati, da'i hakiki, menghabiskan umur 30 tahun sejak keislamannya untuk berdakwah di negara-negara Afrika yang gersang dan berhasil mengislamkan jutaan orang. Jadullah wafat pada tahun 2003 yang sebelumnya sempat sakit. Kala itu ia berumur 45 tahun, beliau wafat dalam masa-masa berdakwah. Kisah pun belum selesai Ibu Jadullah Al -Qur'ani adalah seorang wanita Yahudi yang fanatik, ia adalah wanita berpendidikan dan dosen di salah satu perguruan tinggi. Ibunya baru memeluk Islam pada tahun 2005, dua tahun sepeninggal Jadullah yaitu saat berumur 70 tahun. Sang ibu bercerita bahwa-saat putranya masih hidup - ia menghabiskan waktu selama 30 tahun berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan putranya agar kembali menjadi Yahudi dengan berbagai macam cara, dengan segenap pengalaman, kemapanan ilmu dan kemampuannya, akan tetapi ia tidak dapat mempengaruhi putranya untuk kembali menjadi Yahudi. Sedangkan Ibrahim, seorang Muslim tua yang tidak berpendidikan tinggi, mampu melunakkan hatinya untuk memeluk Islam, hal ini tidak lain karena Islamlah satu-satunya agama yang benar. Yang menjadi pertanyaannya, "Mengapa Jad si anak Yahudi memeluk Islam?" Jadullah Al-Qur'ani bercerita bahwa Ibrahim yang ia kenal selama 17 tahun tidak pernah memanggilnya dengan kata-kata: "Hai orang kafir!" atau "Hai Yahudi!" bahkan Ibrahim tidak pernah untuk sekedar berbicara: "Masuklah agama Islam!" Bayangkan, selama 17 tahun Ibrahim tidak pernah sekalipun mengajarinya tentang agama, tentang Islam ataupun tentang Yahudi. Seorang tua Muslim sederhana itu tak pernah mengajaknya diskusi masalah agama. Akan tetapi ia tahu bagaimana menuntun hati seorang anak kecil agar terikat dengan akhlak Al-Qur'an. Kemudian dari kesaksian Dr. Shafwat Hijazi (salah seorang dai kondang Mesir) yang suatu saat pernah mengikuti sebuah seminar di London dalam membahas problematika Darfur dan solusi penanganan dari kristenisasi, beliau bertemu dengan salah satu pimpinan suku Zolo. Saat ditanya apakah ia memeluk Islam melalui Jadullah Al-Qur'ani?, ia menjawab; tidak! namun ia memeluk Islam melalui orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur'ani. Subhanallah, akan ada berapa banyak lagi orang yang akan masuk Islam melalui orang-orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur'ani. Dan Jadullah Al-Qur'ani sendiri memeluk Islam melalui tangan seorang muslim tua berkebangsaan Turki yang tidak berpendidikan tinggi, namun memiliki akhlak yang jauh dan jauh lebih luhur dan suci. Begitulah hikayat tentang Jadullah Al-Qur'ani, kisah ini merupakan kisah nyata yang penulis dapatkan kemudian penulis terjemahkan dari catatan Almarhum Syeikh Imad Iffat yang dijuluki sebagai "Syaikh Kaum Revolusioner Mesir". Beliau adalah seorang ulama Al-Azhar dan anggota Dewan Fatwa Mesir yang ditembak syahid dalam sebuah insiden di Kairo pada hari Jumat, 16 Desember 2011 silam. Kisah nyata ini layak untuk kita renungi bersama di masa-masa penuh fitnah seperti ini. Di saat banyak orang yang sudah tidak mengindahkan lagi cara dakwah Qur'ani. Mudah mengkafirkan, fasih mencaci, mengklaim sesat, menyatakan bid'ah, melaknat, memfitnah, padahal mereka adalah sesama muslim. Dulu da 'i-da'i kita telah berjuang mati-matian menyebarkan Tauhid dan mengislamkan orang-orang kafir, namun kenapa sekarang orang yang sudah Islam malah justru dikafir-kafirkan dan dituduh syirik? Bukankah kita hanya diwajibkan menghukumi sesuatu dari yang tampak saja? Sedangkan masalah batin biarkan Allah yang menghukumi nanti. Kita sama sekali tidak diperintahkan untuk membelah dada setiap manusia agar mengetahui tingkat iman yang dimiliki setiap orang. Mari kita renungi kembali surat Thaha ayat 44 yaitu Perintah Allah. Musa dan Harun - 'alaihimassalam-saat mereka akan pergi mendakwahi fir'aun. Allah berfirman, ((فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو يخشى)) "Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut." Bayangkan, Fir'aun yang jelas-jelas kafir laknatullah, namun saat dakwah dengan orang seperti ia pun harus tetap dengan kata-kata yang lemah lembut, tanpa menyebut dia kafir Laknatullah! Lalu apakah kita yang hidup di dunia sekarang ini ada yang lebih Islam dari Nabi Musa dan Nabi Harun ? Atau adakah orang yang saat ini lebih kafir dari Fir'aun, di mana Al-Qur'an pun merekam kekafirannya hingga kini? Lantas alasan apa untuk kita untuk tidak menggunakan dahwah dengan metode Al-Qur'an? Yaitu dengan Hikmah, Nasehat yang baik, dan Diskusi menggunakan argumen yang kuat namun tetap sopan dan santun? Maka dalam dakwah yang harus kita perhatikan adalah bagaimana cara kita agar mudah menyampaikan kebenaran Islam ini. Oleh karenanya, jika sekarang kita dapati ada orang yang kafir, bisa jadi di akhir hayatnya Allah akan memberi hidayah kepadanya sehingga ia masuk Islam. Bukankah Umar bin Khattab dulu juga pernah memusuhi Rasulullah? Namun Allah berkehendak lain, sehingga Umar pun mendapat dan akhirnya memeluk Islam. Lalu jika sekarang ada orang muslim, bisa jadi di akhir hayatnya Allah mencabut hidayah darinya sehingga ia mati dalam kondisi kafir. Na'udzubillah tsumma Na'udzubillahi min dzalik. Karena sesungguhnya dosa pertama yang dilakukan iblis adalah sombong dan angkuh dan merasa diri sendiri paling suci sehingga tak mau menerima kebenaran Allah dengan sujud hormat kepada nabi Adam - 'alaihissalam- . Oleh karena itu, bisa jadi Allah mencabut hidayah dari seorang muslim yang tinggi hati lalu memberikannya kepada seorang kafir yang rendah hati. Segalanya tidak mungkin bagi Allah! Marilah kita pertahankan akidah Islam yang telah kita peluk ini, dan jangan pernah mencibir ataupun "menggerogoti "akidah orang lain yang juga telah memeluk Islam serta bertauhid. Kita adalah saudara seislam seagama. Saling mengingatkan adalah baik, saling melindungi akidah sesama muslim adalah baik. Marilah kita senantiasa berjuang bahu-membahu demi hal yang baik-baik saja. Wallahu Ta'ala A'la Wa A'lam Bis-shawab. *

https://www.facebook.com/nur.hubbah/posts/3434651399699

Jumat, 24 Januari 2014

Gus Dur Santai Gus Dur Serius

Oleh: Zia Ul Haq

Setiap Desember, haul Gus Dur digelar dimana-mana. Bukan hanya oleh pihak keluarga, tetapi juga masyarakat luas, para perindunya. Sebagai bentuk pelestarian terhadap pandangan Gus Dur, refleksi terhadap permasalahan kontemporer, atau sekedar mengenang sang guru bangsa bertepatan dengan bulan kewafatan beliau.

Beberapa waktu lalu, di pendopo LKiS Sorowajan, saya sempat menyaksikan betapa guyubnya GUSDURian dari berbagai daerah berdiskusi untuk membahas nilai-nilai dasar Gus Dur yang wajib dilestarikan. Dalam musyawarah yang berlangsung sejak pagi hingga petang itu ditelurkan sembilan nilai dasar Gus Dur. Yakni ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan kearifan lokal. Saya heran, semua nilai itu beraroma serius dan tegang. Tidak ada nilai yang mengekspresikan sosok Gus Dur yang paling nampak di mata dunia, disebar kemana-mana, yakni kesantaian dan kelucuan.

Entah sudah berapa ratus kali lelucon-lelucon Gus Dur diterbitkan. Entah sudah berapa ribu kali kalimat ampuhnya, “Gitu aja kok repot!”, dikutip orang-orang. Rasanya, sosok sekaliber Gus Dur tidak menampakkan kesantaian secara vulgar tanpa tujuan. Mulai dari guyonan-guyonan yang ia lontarkan hingga tingkah yang begitu rileks ketika keluar dari istana saat dilengserkan.

Andai saja ada kajian tentang guyonan mantan presiden yang kiai ini, pasti ditemukan harta karun yang berharga: ilmu. Agama adalah salah satu tema dari sekian banyak bidang yang dibungkus dalam wadah lelucon oleh Gus Dur. Di tengah menegangnya hubungan antar pemeluk agama, keyakinan, dan pemahaman akhir-akhir ini, alangkah sejuk bila sikap santai Gus Dur disemarakkan kembali oleh penerusnya.

Momen Natal, tahun baru, hingga Maulid Nabi menjadi komoditas perdebatan yang laku keras saat ini. Terutama bagi umat Islam. Seakan-akan semua itu adalah hal baru yang muncul satu dua tahun lalu. Klaim kebenaran menjadi hal yang lumrah, caci maki dan cap pengkafiran pun ramai diteriakkan. Bahkan belakangan, dalil-dalil teologis diseret dan diperkosa untuk melampiaskan nafsu politik dalam perebutan suara di ibu kota. Semua pihak terjebak dalam sikap berlebih-lebihan, baik yang pro maupun kontra. Urat syaraf menegang dan senyum pun menjadi barang langka. Kalaupun ada, sekadar basa-basi belaka.

Pendekatan guyon ala Gus Dur tidak hanya memantik senyum, tetapi juga menumbuhkan keakraban yang sulit dibentuk dengan formalitas. Setidaknya tiga potong lelucon Gus Dur berikut ini bisa menggambarkan betapa santainya beliau menyikapi perbedaan keyakinan dan pemahaman keagamaan. Suatu sikap yang bijak dan segar sebagai bentuk kedewasaan beragama. Bukan untuk menyepelekan apalagi melecehkan.

***

Kisah pertama tentang para pemuka agama. Seorang pandita Hindu, seorang pastor Katolik, dan seorang kiai Islam, memperdebatkan tentang siapa di antara mereka yang paling dekat dengan Tuhan.

“Kami!” ujar pandita Hindu, “Kami memanggil Dia ‘Om’, seperti kami menyebut paman kami,” katanya sambil merapatkan kedua tangan di dada, “Om, shanti, shanti, Om..”

“Kalau begitu, kamilah yang jelas lebih dekat kepada Tuhan!” ujar pendeta Katolik, “Kami memanggil Dia ‘Bapa’. Bapa kami yang ada di Surga.”

Kiai terdiam. Ia merenung. Pandita dan pastor menunggu tanggapan.

“Kami? Hmm.. Boro-boro dekat, memanggil Dia saja musti pakai menara, pakai teriak-teriak pula,” sahut sang kiai, santai.

Guyon kedua, Kiai Said Aqil Siroj berkisah, saat internet baru marak di Indonesia, seseorang bertanya kepada Gus Dur mengenai keabsahan menikah melalui internet. Mendapat pertanyaan begitu, dengan ringan Gus Dur menjawab,

“Akad nikah lewat internet itu sah,” katanya, “Tapi kelonane juga harus lewat internet.”

Satu lagi. Setiap Selasa, sebagaimana dikisahkan Mahfud MD, Gus Dur dan para menteri kerap sarapan bersama di kediaman Wakil Presiden Megawati. Gus Dur bercerita tentang perbedaan kisah Nabi Ibrahim yang akan menyembelih anaknya. Dalam versi Islam, anak Ibrahim yang akan dikorbankan adalah Ismail sementara menurut agama Yahudi adalah Ishak. Suatu ketika, Gus Dur ditanya versi mana yang benar.

"Dua-duanya, baik Ismail maupun Ishak, tidak jadi disembelih,” jawabnya, “Jadi buat apa diributkan?"

***

Tiga potong lelucon Gus Dur di atas bukan tanpa makna. Ia sarat pelajaran, tak sekadar pengembang ujung bibir pengundang tawa. Tapi saya tidak perlu menjabarkan apa saja pelajaran itu. Mungkin Anda akan tersinggung dengan guyonan agama di atas, kecuali jika Anda memiliki kerendahhatian atau selera humor yang tinggi.

Akhirnya, meskipun Bulan Gus Dur telah usai, saya yakin tirakat rileks dalam keseriusan akan tetap langgeng diamalkan perindunya pada bulan-bulan ke depan. Apalagi, nampaknya, atmosfer nasional tahun baru ini akan lebih ‘panas’ dari tahun yang lama.

Krapyak, 30 Desember 2013
www.sarikata.com

Uang Kampanye

Oleh: Ayung Notonegoro

Desa Patemon bergejolak. Desa yang terkenal adem ayem dan religius itu mendadak geger. Usut punya usut ternyata penyebabnya adalah perihal pemasangan poster gambar salah satu caleg yang terpampang di depan masjid. Diiringi pula bendera partai yang mengusung dia terpasang di sepanjang pagar masjid.

Warga yang hilir mudik sehabis shalat shubuh di masjid mulai rasan-rasan membincangkan pemasangan poster caleg.

“Wah, masjid kita telah disusupi partai,” ujar salah seorang warga.

“Iya itu... masak masjid yang seharusnya harus jadi tempat ibadah malah dijadikan tempat kampanye,” timpal yang lain.

Perbincangan seputar poster caleg semakin berkembang. Mereka bergerombol di warung seberang jalan masjid itu.

“Semalem ada mobil sedan dan mobil pick up yang parkir di dalam masjid,” ujar Mbok Nah, si pemilik warung.

Sambil melayani pembeli, Mbok Nah melanjutkan ceritanya.

“Sekitar jam sebelasan mereka keluar dari masjid. Mungkin sedang ada rapat. Pagi-paginya sudah kepasang gambar itu,” lanjut Mbok Nah sambil menunjuk poster caleg itu.

“Wah, nggak beres ini,” sahut orang-orang yang mendengar cerita Mbok Nah.

Perbincangan pagi tentang poster caleg di warung Mbok Nah berkembang menjadi desas-desus yang terus bergulir di masyarakat Patemon. Dari mulut ke mulut berita itu menyebar dengan beragam isu yang semakin menarik, bombastis, dan simpang siur.

Dari beragam isu yang yang berkembang di tengah masyarakat, isu tentang pemberian bantuan yang menjadi topik utama.

“Yu, jarene masjid entok seket juta?” ujar Painem yang sedang mencuci baju di kali.

“Jare sopo awakmu, Nem?” jawab teman nyuci Painem yang berbunyi pertanyaan.

“Wong-wong iku, Yu.”

“Sak endi ake’e duwik sak mono iku yow?” sahutnya dengan nada heran dan wajah melongo membayangkan seberapa banyaknya uang lima puluh juta.

Lain ibu-ibu lain pula bapak-bapak.

“Eroh nggak awakmu Sur?” teriak Parman dari atas pohon kelapa kepada Suryanto yang juga sedang nderes.

“Opo, Cak?”

“Masjid disogok seratus juta oleh salah satu caleg.”

“Oh.. tahu saya, Kang. Bahkan saya dengar nanti orang-orang sehabis shalat isya mau ngelurug ke ketua ta’mir di masjid.”

“Wah rame berarti ntar malem, Sur?”

“Iya. Jangan sampai tidak hadir.”

***

Tidak seperti biasanya. Jamaah shalat isya di masjid malam itu nampak penuh. Yang biasanya hanya sak lonjor sebelah depan saja makmum yang jama’ah untuk malam itu sampai meluber ke belakang. Bahkan setelah shalat isya selesai semakin ramai warga yang berkunjung. Laki-laki perempuan, tua muda, semua tumplek blek di pelataran masjid.

“Seperti ada pengajian maulid Nabi yang mubalignya dari luar kota saja,” komentar salah satu warga.

Setelah selesai shalat sunnah ba’da isya, sang imam yang juga ketua takmir masjid desa Patemon di kerubung oleh para jamaah. Sebelumnya Pak Haji Dul Hamid, si ketua takmir, kebingungan melihat jamaah yang begitu banyak, namun setelah dijelaskan oleh salah satu pengurus takmir yang lain akhirnya paham.

“Memang benar masjid mendapat bantuan sebesar lima puluh juta dari caleg yang posternya terpampang di depan masjid,” terang Haji Dul Hamid lansung pada pokok permasalahan.

“Huuu...” teriak para hadirin.

“Kenapa terus? Kan ini demi kebaikan masjid.”

“Begini Pak Haji. Sebelumnya saya mohon maaf. Bukankah hal demikian termasuk risywah alias suap menyuap,” ujar Durrahman, seorang ustad muda lulusan salah satu pondok terkemuka di Jawa Timur.

“Jangan berpikir terlalu jauh!” ujar Pak Haji.

“Jika boleh diumpamakan hal ini seperti penyu. Daging penyu itu haram karena hidup di dua alam, tapi telurnya halal kan?”

Hadirin mengangguk.

“Begitu pula politik. Memang mekanisme perpolitikan saat ini syubhat. Rentan dengan tindak korupsi, tapi uang yang diberikan oleh orang-orang partai kan belum tentu haram, iya kan? Persis kayak telur penyu tadi,” pungkas Pak Haji.

“Itu qiyas akal-akalannya Pak Haji,” tandas ustad muda tadi.

“Apa-apa yang diberikan dengan disertai sarat yang mengikuti selanjutnya dengan tujuan untuk menguasai salah satu pihak itu namanya suap. Barangsiapa yang menyuap maupun yang disuap sama-sama akan masukkan neraka,” lanjutnya dengan menyitir salah satu hadist Nabi.

Suasan hening beberapa detik kemudian riuh kembali. Hadirin yang datang ke masjid terbelah dua, ada yang mendukung Pak Haji ada pula yang mendukung Ustad Muda.

“Nggak usah naif toh kita juga bayar pajak. Jadi kita berhak untuk mendapat kembali uang yang telah dikorup oleh para politikus-politikus itu,” ujar pendukung Pak Haji.

“Biarkan mereka saja yang masuk neraka, kita tidak usah ikut-ikutan masuk neraka,” sahut pendukung Ustad muda.

“Apa gunanya masjid mewah dan besar jika tidak semakin makmur, tapi malah tambah sepi karena dibangun dari uang yang tidak jelas halal haramnya,” lanjutnya.

Debat kusir semakin seru antar dua kelompok. Pendukung Pak Haji tetap bersikukuh dengan pragmatisme kontekstual, sedangkan kelompok ustad muda juga tetap berpegang teguh dengan pemahaman keagamaannya yang idealis formalistis.

Tiba-tiba seorang pemuda bangkit lalu mencoba menenangkan massa untuk memberikan kesempatan pada dirinya sendiri menagar dapat mengemukakan pendapat.

“Maaf sebelumnya, setelah saya membaca dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan bahwa pemberian sesuatu oleh seorang atasan tidak pasti disebut dengan suap. Ada kriteria-kriteria tertentu yang menyebabkan demikian,” jelasnya.

“Apa itu?”

“Lebih lanjut Imam Ghazali menjelaskan jika pemberian tersebut dengan disertai harapan yang sifatnya tidak mengikat maka itu diperbolehkan, tetapi bagi si penerima hukumnya adalah makruh syadidah.” jawabnya.

“Berarti tidak haram dong?” tanya yang lain.

“Benar. Tapi itu bisa haram apabila ada ikatan perjanjian untuk memperoleh sesuatu. Maka hukumnya sama dengan risywah dan haram.”

“Berarti jika bantuan itu hanya bersifat sumbangan dan ada kampanye untuk mengimbau memilih salah satu calon maka hukumnya hanya makruh, tapi jika disertai dengan kontrak politik tertentu maka hukumnya haram, begitu?” tanya yang lain.

“Tepat. Sekarang tanyakan saja sama Pak Haji, apakah bantuan itu bersifat sumbangan saja ataukah ada kontrak politik untuk pemenangan salah satu calon?” tanya si Pemuda.

Pak Haji yang sejak tadi menyimak dengan seksama apa yang dikatakan oleh si pemuda tetap duduk tenang . Sebelum Pak Haji menjawab tiba-tiba hujan deras mengguyur lebat. Warga yang tadi banyak di luar berduyun-duyun masuk ke masjid untuk berteduh. Sayang yang di dalam masjid pun sibuk pula mencari tempat untuk berteduh karena banyak atap masjid yang bocor.

“Ehm..Ehm..Ehm..” Pak Haji berdehem tiga kali sebagai tanda menenangkan hiruk pikuk hadirin.

“Masjid kita sudah tua, banyak genteng yang sudah bocor dan tembok-temboknya telah banyak yang rontok. Tapi dengan kondisi perekonomian kita saat ini, sulit sekali rasanya untuk merenovasi hanya dengan mengandalkan iuran dari kita sendiri. Oleh karena itu, maka apalah salahnya jika kita menerima sumbangan parti politik untuk membangun masjid yang kita cintai ini,” terang Pak Haji diplomatis.

Warga terdiam mendengar curahan hati Pak Haji. Ketika urusan ekonomi dikedepankan tak ada lagi keteguhan prinsip. Seakan semua bertekuk lutut kepada uang. Argumentasi-argumentasi keagamaan harus berhenti jika dibenturkan dengan realita sosial-ekonomi.

Lambat laun seiring redanya hujan para pengujung sidang klarifikasi pemasangan poster caleg di depan masjid bubar satu persatu. Masjid pun menjadi sepi, hanya terdengar rintihan entah dari siapa asalnya, “Astagfirullahal adzim”. []

AYUNG NOTONEGORO, santri Pondok Pesantren Al-Anwari Kertosri Banyuwangi, Jawa Timur. Aktif di Pimpinan Anak Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Kecamatan Banyuwangi Kota.
www.sarikata.com

Penutur Terakhir

Banyak bahasa sudah hilang dari muka bumi karena penutur terakhirnya meninggal. Entah berapa banyak bahasa yang sudah punah. Upaya untuk melestarikan bahasa-bahasa ini dilakukan berbagai pihak. Tonggaknya adalah kematian Marie Smith Jones pada 21 Januari 2008.

Jones adalah orang suku Eyak yang lahir di Cordova, Alaska, pada 14 Mei 1918. Suku Eyak yang tinggal di muara Sungai Copper, Alaska, AS, bertutur dengan bahasa Eyak. Suku ini pada saat itu hampir punah. Jones-lah orang suku Eyak murni terakhir.

Kepunahan bahasa Eyak menarik dicermati karena memberi gambaran bahwa penyebab punahnya suatu bahasa bukan oleh sebab faktor tunggal. Makin meluasnya pengguna bahasa Inggris memang salah satu sebabnya. Tetapi ada banyak faktor lain.

Jones menikah dengan seorang nelayan yang bukan dari suku Eyak, William F. Smith. Meski mereka dikaruniai sembilan anak, tak satu pun dari anak-anaknya berbicara dalam bahasa Eyak. Apalagi mereka kemudian pindah ke Anchoraga yang 83% penduduknya berbahasa Inggris.

Tekanan terhadap bahasa Eyak juga terjadi karena masuknya suku lain ke muara Sungai Copper. Di antaranya adalah suku Tiglit dan Alutiiq. Sejumlah orang dari suku Eyak menikah dengan suku pendatang. Tetapi ironisnya keturunan mereka banyak yang berbahasa pendatang.

Rupanya Jones menyadari akan ancaman punahnya bahasa Eyak. Ia kemudian bekerja sama dengan ahli bahasa Michael W Krauss untuk membuat kamus dan menyusun tata bahasa bahasa Eyak. Setelah itu Jones terjun ke dunia politik. Ia bicara di PBB mengenai perdamaian dan isu-isu bahasa pribumi.

Jones yang menjadi penutur terakhir bahasa Eyak meninggal dalam usia 89 tahun pada 21 Januari 2008. Kematiannya memberi inspirasi pada banyak pihak untuk berusaha mempertahankan bahasa daerahnya masing-masing dari kepunahan. Bahasa Eyak sendiri kemudian menjadi simbol kegiatan memerangi kepunahan bahasa di dunia.

www.andriewongso.com

Kamis, 23 Januari 2014

Mahasiswa Bawa Ayah yang Lumpuh Tinggal di Asrama

Sungguh terpuji sikap Guo Shijun, 20 tahun. Mahasiswa sebuah perguruan tinggi di China ini begitu berbakti kepada orangtuanya. Mendapati ayahnya yang kemudian lumpuh setelah kecelakaan, ia putuskan membawanya tinggal di asrama kampus agar sambil kuliah bisa tetap merawatnya.

Shijun lahir dari keluarga miskin. Ketika masih kecil ibunya menderita meningitis. Setelah itu malah mengalami gangguan mental. Ia dan ayahnya kemudian merawat sang ibu. Meski begitu Shijun berprestasi baik di sekolah. Akhirnya ia bisa masuk universitas ternama.

Beberapa waktu kemudian ayahnya mengalami kecelakaan ketika tengah bekerja di jembatan di kota Liuan, provinsi Anhui. Karena jatuhnya cukup tinggi dari jarak 15 meter, sang ayah mengalami luka yang parah yang menyebabkannya lumpuh dari pinggang ke bawah. Dengan kedua orangtuanya yang memerlukan perawatan, Shijun merasa kesulitan. Akhirnya kakek-neneknya turun tangan. Sang ibu dirawat mereka sementara ayahnya dirawat Shijun sendiri.

Tak mudah untuk memelihara sang ayah dalam kondisi seperti itu. Apalagi ia sedang kuliah. Namun Shijun tak putus asa. Agar kedua tugasnya bisa ia penuhi, ia putuskan untuk membawa ayahnya tinggal di asramanya di dekat kampus. Untuk biayanya ia pinjam ke teman-temannya. Biayanya pun tak sedikit.

Seperti dikutip Mail Online, biaya kuliahnya saja setahun mencapai 2.000 poundsterling. Ini belum biaya untuk makan dan perawatan ayahnya. Untunglah karena ia mahasiswa berprestasi akhirnya ia mendapat beasiswa sehingga beban ekonominya bisa sedikit tertolong. “Saya tak bisa katakan hidup ini mudah tetapi satu cara untuk mengatasi masalah adalah melalui kerja keras, saya tak perlu mengeluh. Saya kira begitu saya lulus (hidup) saya akan lebih baik,” katanya



www.andriewongso.com

Kamis, 09 Januari 2014

Gelandangan Jadi Programmer

Leo Grand, 37 tahun, memang bukanlah pengemis seperti di Indonesia, tetapi sejak tahun 2011 hidupnya di jalanan setelah ia kehilangan pekerjaan. Sejak saat itu hidupnya ditopang dari pemberian orang.

Pada Agustus 2013 lalu ia bertemu seorang pemuda bernama Patrick McConlogue. Pemuda berusia 23 tahun itu ternyata seorang programmer. Begitu melihat Grand, McConlogue terpikirkan memberi bantuan. “Anda mau saya beri uang US$100 atau besok pagi saya datang lagi memberi Anda buku-buku Java-Script dan laptop bekas untuk belajar coding (program komputer)?” tanya McConlogue. Saat itu yang ada dalam pikiran Grand adalah dengan uang US$100 ia bisa hidup beberapa hari saja, tapi dengan memiliki keterampilan coding ia mungkin bisa mendapat penghasilan lebih baik. Maka, meski merasa aneh Grand memilih yang kedua. Setelah itu setiap hari satu jam sebelum bekerja McConlogue mengajari Grand tentang coding. Sampai akhirnya Grand bisa membuat aplikasi.

Apa yang dilakukan Grand setelah memiliki pengetahuan coding itu? Dengan laptop bekasnya ia kemudian mencoba membuat sebuah aplikasi komputer untuk perangkat mobile. Ternyata ia berhasil membuat sebuah program yang kini dijual di Apps Apple, dengan nama Trees for Cars yaitu program nebeng ke mobil orang berdasarkan komunitas.

Gambarannya seperti ini. Seorang pengendara menentukan titik pertemuan yang dikehendakinya. Trees for Cars akan menyarankan pada para penggunanya titik pertemuan tersebut. Kemudian antara pemilik mobil dan yang akan nebeng saling terhubung. Mereka yang bersepakat yang akan ikut mobil tersebut. Aplikasi itu juga menghitung berapa banyak gas CO2 yang terselamatkan jika sekian banyak orang memilih nebeng mobil orang lain ketimbang membawa kendaraan sendiri.

Meski belum jelas sejauh mana keberhasilan program tersebut dan sejauh mana lakunya, apa yang dicapai Leo Grand menunjukkan bahwa jika mau dan tekun bahkan seorang gelandangan pun bisa belajar coding hingga menjadi programmer. Ia sekarang sedang membuat aplikasi kedua. Selain itu ia akan segera mencari pekerjaan sebagai programmer.

Sementara McConlogue sendiri kebanjiran pekerjaan. Ada ratusan orang yang mendaftar ingin jadi muridnya karena menganggap ia cukup cerdas sebagai mentor.

www.andriewongso.com

Pengusaha Jual Restoran Demi Menolong Karyawannya

Brittany Mathis, 19 tahun, telah ditinggal ayahnya yang meninggal karena tumor otak pada tahun 2000. Keluarga ini kemudian bergantung pada ibu yang bekerja di restoran Kaiserhof di Texas, AS, sebagai pelayan. Kakak perempuan Brittany juga kemudian bekerja sebagai pelayan di restoran yang sama. Akhirnya giliran Brittany yang ikut bekerja di sana. Restoran tersebut milik pengusaha asal Jerman Michael De Beyer yang sudah memiliki restoran tersebut sejak 17 tahun lalu.

Beberapa waktu lalu Brittany menemukan gejala aneh di tubuhnya. Awalnya adalah bintik-bintik merah di kakinya. “Saya segera pergi ke rumah sakit dan ternyata itu gumpalan darah beku,” katanya. Ia kemudian diminta diperiksa lebih lanjut termasuk menjalani pemeriksaan MRI dan CAT. Ternyata perempuan muda itu terkena tumor otak, seperti ayahnya dulu.

Meski sudah tahu terkena tumor, Brittany tak menjalani perawatan karena tak memiliki asuransi. Rupanya hal itu didengar oleh Michael. “Saya tak bisa berdiri saja. Saya harus mencoba melakukan sesuatu,” kata Michael.

Ternyata pengusaha restoran itu punya rencana mulia. Ia menyadari untuk menyembuhkan penyakit karyawannya itu dibutuhkan biaya yang besar yang tak mampu ditanggung mereka. Karena itu untuk membantunya ia akan menjual restorannya dengan harga lelang. “Saya tidak akan bisa bahagia memperoleh uang dari restoran di mana ia (Brittany) membutuhkan pertolongan,” katanya.  “Di restoran ini seperti keluarga. Mereka bekerja sangat keras. Mereka bahkan tak pernah minta bantuan siapa pun,” tuturnya mengenai keluarga Brittany.

Sebenarnya Michael sudah ingin menjual restoran itu karena ingin menghabiskan waktunya dengan istri dan kedua anaknya. Harga yang ditawarkan saat itu adalah US$2 juta (sekitar Rp20 miliar).  Namun begitu mendengar penyakit yang dialami Brittany, ia segera ingin melelangnya karena penanganan gadis itu harus secepatnya dilakukan. "Kini saya ingin melelangnya dengan tawaran minimal 50 persen dari harga sebenarnya,” katanya. Ia berharap harga itu cukup untuk membantu Brittany. Padahal sebelumnya ia pernah menolak tawaran US$1,3 juta.

“Saya kira itu berkah yang luar biasa di mana saya tak akan cukup untuk mengucapkan terima kasih kepadanya,” kata Brittany. “Saya tak pernah berpikir akan ada orang seperti itu dan ternyata ia (Michael) mau melakukannya. Michael adalah berkah bagi keluarga kami. Ia selalu ada di saat kami membutuhkan sesuatu,” lanjut Brittany.

www.andriewongso.com

Jumat, 03 Januari 2014

The Power of Today - Kekuatan Hari Ini

Rendy dan Tomi adalah dua sahabat sejak duduk di bangku SMA. Setiap akhir tahun, secara rutin mereka bertemu melepas rindu dan bertukar kabar. 

“Sudah mau ganti tahun lagi, ya, Tom? Wah, setahun ini aku banyak nyeselnya, deh,” kata Rendy sambil menerawang ke belakang.  “Semangat belajarku amburadul sehingga nilai ujianku terlalu pas-pasan. Rasanya malu sama diri sendiri. Lanjutannya, aku jadi sering berantem dengan pacar gara-gara urusan sepele, dan akhirnya malah putus. Padahal aku masih sayang sama dia. Dan lebih celaka lagi, waktu aku pulang ke rumah ortu, karena emosi yang labil, eh, malah bikin masalah yang membuat ortuku marah besar. Tahun ini benar-benar sial buatku. Aku kecewa dan menyesal dengan diriku sendiri.  Lalu bagaimana dengan kabarmu sobat?”

Tomi yang mendengar dengan tekun keluhan sahabatnya menyahut, “Udahlah, Ren…. Yang udah terjadi kan tidak bisa diulang lagi, ngapain disesalkan? Yang udah terjadi disesali juga tidak ada guna. Yang penting tahu di mana salahnya. Perbaikilah. Janji saja pada diri sendiri untuk enggak ngulang lagi. Beres, kan?” dengan lagak bijaksana Tomi berusaha menasihati sabahatnya itu.

Tomi melanjutkan, “Menurut aku, masa lalu biarlah berlalu. Sebenarnya yang perlu kita khawatirkan adalah masa depan kita. Setuju gak? Jujur, Aku sih cemas dan khawatir, setelah lulus mau ngapain, kita mau ke mana? Nyari kerja kan gak gampang. Udah masukin lamaran ke banyak perusahaan aja, belum tentu dapat panggilan.  Ayah dan ibuku mengharapkan aku pulang untuk membantu kerja di ladang. Aku gak tau harus bagaimana menjawabnya. Menolak salah, tidak menolak juga salah. Mana doi nanyain mulu keseriusan aku sama dia. Entah bagaimana kelanjutan hubungan kami juga belum jelas lah”.

Dalam diam mereka berdua bersitatap dan tiba-tiba tertawa bersama. “Hahaha…. pertemuan kita kali ini sungguh tidak biasa, ya?  Aku sibuk  dengan kecewa pada diriku sendiri dan menyesali masa lalu, sedangkan kamu begitu  khawatir akan masa depan yang tidak menentu. Kita seperti tidak hidup di dunia nyata, ya?” kata Rendy.

“Iya, bener. Sepertinya ada yang salah, nih, dengan  cara berpikir kita,” lanjut Tomi.


Memang benar, menyesali terus-menerus apa yang telah terjadi hari kemarin adalah kebodohan. Karena hari kemarin tidak mungkin kembali lagi. Sedangkan mencemaskan dan mengkhawatirkan masa depan yang belum tentu terjadi itu adalah penderitaan. Hanya hari ini yang menjanjikan kesempatan kesuksesan dan perubahan.

Maka, mari, hari ini dengan penuh syukur, optimis, kerja cerdas, kerja keras, dan siap belajar tanpa berhenti, niscaya potensi kita akan berkembang pesat dan kitapun bisa menciptakan sukses yang gemilang.

www.andriewongso.com