Sabtu, 27 April 2013

Tahun Ajaran Baru

Pergantian tahun ajaran baru telah dimulai. Bagi yang akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, siap-siap mencari sekolah baru, beli formulir pendaftaran dan ikut tes masuk. Begitu pula dengan putera bungsu kami. Tiba-tiba terinspirasi hendak melanjutkan belajar ke negeri Paman Sam. Tekadnya yang besar sempat membuat kami kalang kabut karena merasa si bungsu masih terlalu muda (16 tahun) untuk pergi jauh dan kurun waktu yang lama (walaupun ada jeda liburan setahun sekali).

Tes masuk ke perguruan tinggi terkenal di Jakarta telah dilalui dan diumumkan diterima. Pada batas akhir waktu pembayaran, kami sebagai orang tua, harus memutuskan, si bungsu akan meneruskan pendidikan di Jakarta (besok terakhir bayar) atau memberi izin untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri (dengan semua konsekuensi yang menyertai).

Di malam penentuan, kami bertiga ‘meeting serius’. “Begini Val. Jujur saja, Papa nggak seratus persen percaya, kamu nanti bisa bener nggak sekolah di luar sana?” papanya memulai dialog. “Di rumah sendiri aja belum bisa mandiri, bagaimana nanti hidup di luar sana? Belum lagi pergaulannya. Jauh dari papa mama, bisa rusak kamu. Coba beri alasan yang jelas, kenapa papa dan mama harus mengeluarkan biaya yang besar untuk kamu sekolah di Amrik. Kalau alasanmu tidak bisa diterima, besok bayar dan sekolah di sini aja,” jelas si papa.

“Pa, ma, aku bener-bener serius mau sekolah ke luar. Janji sekolah yang bener. Kalau masalah pergaulan, nggak usah jauh-jauh pa, kalau mau rusak di sini juga banyak, bahkan banyak sekali. Selama ini papa dan mama kan lihat sendiri, aku nggak pernah macam-macam. Aku bisa memilih temen yang baik dan temen yang nggak baik. Nggak usah kuatir, pa,  aku nggak bakal mempermalukan ortu. Apalagi papa motivator terkenal, aku pasti jaga baik-baik nama papa…….. (sambil terus bercerita tentang berbagai kenakalan yang terjadi di kalangan teman-temannya, yang notabene ‘agak-agak melewati batas’). Seandainya aku mau nakal dan nggak bener, udah lama, pa. Selama ini aku cerita ke mama kok, ya, kan ma? (sambil melihat dan meminta dukungan dari mamanya).   

Setelah mendengar penjelasan panjang lebar dan menggali lebih dalam, ada sentakan rasa sekaligus kelegaan di dalam dada, seakan melihat si bungsu berlari riang melampaui lorong masa gaduh usia anak-anak dan sekarang telah beranjak dewasa. Di usia yang terbilang muda, anakku mampu bertutur dengan sopan, runtut, jelas dan percaya diri. Sungguh luar biasa. Dan di akhir pembicaraan serius malam itu, papa-nya (disertai restu si mama), memutuskan memberi izin untuk si bungsu melanjutkan sekolah ke luar negeri.  “Horeeeee….....” si bungsu pun berteriak sambil berjingkrak kesenangan.

Saat tiba waktunya, kami orang tuanya, membekali segenap doa dan harapan, semoga dengan bekal pendidikan yang baik, kelak anakku mampu membuktikan diri menjadi insan yang lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan banyak orang. Amin.

sumber : www.andriewongso.com

Sukses Karena Beda

Di antara nama-nama baru yang muncul di jajaran orang terkaya dunia 2013 (500 The World’s Billionaires 2013) versi Majalah Forbes terdapat nama Renzo Rosso. Namanya mungkin masih terdengar asing bagi sebagian kalangan, tetapi jika menyebut salah satu produk celana jinsnya, sebagian besar pasti tahu: Diesel.

Renzo Rosso lahir di sebuah desa bernama Brugine, di Padova, Italia, pada 15 September 1955. Orangtuanya adalah petani dengan kehidupan yang sederhana. Sebagai anak yang hidup di desa, selesai sekolah Rosso terbiasa membantu ayahnya di lahan pertanian mereka. Namun ia sudah memiliki keinginan, kelak ia tak mau jadi petani seperti orangtuanya karena sudah terbukti hidup mereka sulit. Ia ingin menekuni profesi lain.

Keinginannya mulai terbuka gara-gara tak mampu membeli celana jins yang sedang tren. Karena tak mampu beli lalu terpikirkan untuk membuatnya sendiri. Kebetulan ibunya punya mesin jahit. Maka ia membeli kain denim dan merancang celananya sendiri dan menjahitnya. Ternyata ketika dipakai tak hanya dirinya yang suka, beberapa temannya pun memesannya. Setelah itu beberapa malam ia habiskan untuk membuat celana jins pesanan teman-temannya. Setiap celana ia hargai 3.400 lira atau sekitar 2 euro dengan kurs saat ini. “Saya berkata pada diri saya sendiri, sepertinya ini menarik untuk dijadikan bisnis,” katanya.

Dari sinilah ia terpikirkan untuk ikut kursus fashion yang diselenggarakan Marconi Technical Institute agar kemampuannya menjahit makin terasah. Ketika itu usianya masih 15 tahun. Tahun 1973 ia melanjutkan sekolah ke University of Venice bidang ekonomi. Untuk membiayai kuliahnya ia bekerja paruh waktu sebagai mekanik bengkel atau tukang kayu. Di samping itu ia tetap membantu orangtuanya bertani.

Sayang kuliahnya tak bisa ia selesaikan. Tahun 1975 Rosso drop-out. Ia kemudian bekerja di pabrik garmen bernama Moltex sebagai manajer produksi.  Moltex saat itu memproduksi berbagai macam celana panjang dari sejumlah merek di Italia. Moltex adalah perusahaan yang dimiliki Adriano Goldschmied, seorang pengusaha yang juga memiliki Genius Group, perusahaan induk Moltex.

Entah bagaimana pada awalnya ia kurang serius bekerja. Malamnya kerap berpesta. Kebiasaannya itu diketahui Goldschmied yang kemudian berniat memecatnya. Mendengar dirinya akan dipecat, Rosso kemudian mengajukan program untuk meningkatkan produksi Moltex dengan sistem yang lebih efisien. Goldschmied tertarik dan tak jadi memecatnya. Dan ternyata Rosso konsekuen dengan rencananya dan menjalankannya dengan penuh dedikasi. Dalam waktu dua tahun Moltex berkembang pesat.

Terdorong kesuksesannya itu, tahun 1978 Rosso mengajukan satu ide pada Goldschmied. Katanya ia akan membuat celana jins dengan merek internasional. Ia sudah meyakinkan Goldschmied, tak ingin menggunakan merek berbau Italia karena ingin go international.  Untuk memilih merek itu ia mengajukan satu pertanyaan: “Apa kata yang diucapkan sama di seluruh dunia?” Pilihannya jatuh ke kata “Diesel”. Itulah yang kemudian ia pilih sebagai merek celana jins yang dirancangnya. Diesel katanya, berarti juga alternatif karena mesin diesel adalah mesin yang menggunakan bahan bakar alternatif, bukan bensin seperti pada umumnya. Dan ini sesuai dengan filosofi jins yang ingin dikembangkan, yaitu menjadi jins alternatif bagi produk jins kelas dunia yang lebih dulu dikenal.

Goldschmied setuju dan ia bersedia memodali dan menyisihkan 40% sahamnya bagi Rosso sebagai pemilik ide. Sayang, jalannya Diesel tak secepat yang diharapkan. Mungkin karena Rosso terlalu hati-hati menjalankan bisnisnya sehingga tak berani mengambil risiko besar. Meski begitu, pada tahun 1985 ia sudah mampu mengumpulkan modal untuk membeli saham yang dimiliki Goldschmied sehingga ia jadi pemilik tunggal Diesel. “Inilah awal di mana saya berani memproduksi sesuatu yang personal, sesuatu yang gila,” katanya.

Sejak ia jadi pemilik tunggal ia berkreasi sesuai kemauannya. Sejak saat itulah Diesel berkembang pesat. Positioning-nya sebagai jins alternatif membuatnya sukses.

____________

sumber : www.andriewongso.com
Foto: Ffw.com.br

Sabtu, 20 April 2013

Tukang Sapu Mendadak Jadi Asisten Real Madrid

Jika mencintai sesuatu maka berilah ketulusan. Maka kejutan akan didapat. Hal inilah yang diterima Abel Rodriguez, 41 tahun, seorang tukang sapu di Metro Transportation, Los Angeles, yang mencintai klub sepakbola kenamaan Spanyol, Real Madrid.

Bentuk kecintaan pertama ia wujudkan dengan menjadi pekerja sukarela setiap kali Real Madrid mengadakan tur pra musim di Los Angeles. Awalnya ia hanya menyaksikan tim itu berlatih lalu melakukan pendekatan. Lama-lama ia bisa ikut membantu membereskan peralatan latihan Real Madrid. Besoknya ia datang lagi dan akhirnya mulai dikenal anggota tim itu sebagai tukang beres-beres. Abel tak mendapat bayaran. Meski begitu ia datang paling pagi, jam 05.00, dan pulang larut malam, jam 23.00.

Ia menyukai tim itu sejak kecil. Dan keinginan terbesarnya adalah nonton El Clasico (pertandingan Reald Madrid melawan Barcelona) di Madrid. Setelah sekian lama, tahun ini ia memberanikan diri datang ke Madrid, Spanyol, dengan target menonton El Clasico pada 2 Maret 2013. Ia tiba di Madrid pagi 28 Februari 2013. Segera setelah itu ia pergi ke tempat latihan Real Madrid di Valdebebas.

Namun ketika siang akan menyaksikan latihan Madrid, sekuriti di sana mengusirnya. Ia pun tak bisa apa-apa selain duduk di pinggir jalan di depan tempat latihan itu. Ia duduk di sana hampir lima jam hingga malam. Padahal saat itu suasana dingin karena malam sebelumnya turun salju.

Lalu keajaiban terjadi. Mourinho pulang menumpang mobil asistennya, Rui Faria. “Suatu keajaiban saya melihatnya,” kata Mourinho. “Saya melihat Abel duduk di pinggir jalan di luar tempat latihan. Saya pulang menumpang mobil asisten saya Rui Faria dan selalu banyak orang di sana. Tetapi saya bilang ke Rui, ‘Stop! Ada orang dari Los Angeles,” kata Mourinho.

Lalu Mourinho menyapanya. “Amigo (teman)! Apa yang Anda lakukan di sini?” tanyanya.

“Saya ke sini untuk mengunjungi Anda,” kata Abel. “Ini pertama kalinya saya ke Eropa, dan impian saya datang untuk melihat pertandingan. Saya berharap bisa nonton El Clasico,” katanya.

“Tapi tiketnya sudah habis,” sahut Mourinho. “Di mana Anda menginap?”

“Saya belum punya rencana. Prioritas saya bertemu Anda baru kemudian buat rencana. Jika saya tak bertemu Anda, saya akan datang ke stadion dan mencoba mendapatkan tiket. Jika tidak dapat juga, saya akan pulang,” papar Abel.

Lalu apa yang terjadi? Mourinho memanggil asistennya dan meminta mengurus Abel agar menginap di kamar mewahnya di hotel tempat menginap tim Real Madrid menjelang El Clasico itu. Mourinho kemudian meminta Abel istirahat di hotelnya dan besok paginya kembali bertemu di tempat latihan. Abel kemudian bisa makan malam bersama staf Real Madrid, dan ketika El Clasico berlangsung ia bisa menonton gratis.

Setelah pertandingan usai, Mourinho memberikan kejutan berikutnya. Karena Madrid akan bertanding di Liga Champions melawan Manchester United beberapa hari kemudian, ia akan mengajak Abel ke sana. Abel menolak. Mourinho setengah memaksa. “Saya bilang kepadanya, Anda ke Manchester bersama kami dan bekerja sebagai kit man,” katanya. “Anda bantu kami dan Anda akan mendapatkan mimpi lebih besar lagi dengan menonton Liga Champions,” kata sang pelatih itu.

Abel menolak karena ia tak punya uang. Kemudian Mourinho meyakinkannya. “Jika Anda bersama saya di Eropa, Anda tak perlu bayar,” katanya.

Maka Abel pun ikut rombongan Real Madrid ke Inggris sebagai kit man, alias orang yang bertugas membereskan barang-barang tim dalam perjalanan ke sana.

Kisah Abel yang inspiratif ini menjadi buah bibir. Ketulusannya membantu tim besar mendapat imbalan yang tak diduga. Selain bisa menonton El Clasico yang diimpikannya, ia bertemu dengan para bintang Real Madrid. Bahkan ia juga bertemu Maradona yang kebetulan nonton El Clasico. Juga bertemu pelatih MU Sir Alex Ferguson dan sejumlah pemain MU. Bahkan pemain asal Meksiko di MU, Javier "Chicharito" Hernandez, menghadiahinya kaos tim MU yang dipakainya dalam pertandingan.

Ketika Abel pulang ke AS ia membawa banyak oleh-oleh, berupa jersey Chicharito, Özil, Kaká dan Michael Essien. Dan tentu saja kenangan yang tak terlupakan. Barangkali itulah imbalan dari sebuah ketulusan.

_____

Sumber: Sportsillustrated.cnn.com
Foto: courtesy Abel Rodriguez via Sportsillutrated.cnn.com

Jumat, 05 April 2013

Sylvester Stallone Pernah Menggelandang


Dunia mengenal Sylvester Stallone sebagai jagoan Amerika yang mengalahkan musuh-musuhnya dengan cara heroik. Ia diidentikkan dengan jagoan sepanjang masa: John Rambo dan Rocky Balboa. Stallone pun jadi legenda di Hollywood. Namun siapa sangka kalau masa lalunya penuh penderitaan.

Stallone lahir di New York pada 6 Juli 1946 dengan nama Michael Sylvester Gardenzio Stallone. Ayahnya Frank Stallone Sr adalah seorang hairdresser. Sedangkan ibunya, Jacqueline Stallone, seorang tukang ramal, penari, dan juga promotor gulat perempuan. Dari ayahnya ia punya darah Italia, sedang dari ibunya ia mendapat turunan Rusia dan Prancis. Stallone juga punya adik yang juga aktor, Frank Stallone.

Namun saat ibunya melahirkan Stallone, sang ibu menderita komplikasi. Hal ini yang membuat dokter harus menggunakan alat bantu melahirkan. Dokter menggunakan sepasang forsep untuk menarik kepala Stallone selama kelahirannya. Itu justru melukai Stallone. Sisi kiri bawah wajah Stallone menderita lumpuh, termasuk bagian bibir, lidah, dan dagu. Hal ini membuat Stallone sulit bicara hingga sekarang dengan kata-kata yang sedikit tidak jelas saat bicara serta suara yang menggeram.

Namun kelemahan itu tak membuat Stallone minder. Ia terus berusaha menjadi bintang film. Meski sering ditolak ia tak pernah putus asa. Dalam pencariannya itu ia sempat diusir dari apartemennya dan harus menggelandang berhari-hari. Ia mengaku pernah tiga minggu tidur di halte bis di New York sampai akhirnya membaca pengumuman casting untuk sebuah film dewasa. “Saat itu akhir dari hidup saya. Saya membintangi film itu atau merampok orang,” katanya. Akhirnya ia berperan di film itu dengan shooting dua hari dan dibayar US$200.

Hingga tahun 1975 ia hanya berperan di film-film yang tak begitu sukses. Suatu kali di bulan Maret 1975, ia menyaksikan pertandingan tinju antara Muhammad Ali dan Chuck Wepner. Tiba-tiba saja ia mendapat ide sebuah film. Stallone segera pulang dan berkutat selama tiga hari membuat script film tinju. Setelah selesai ia tawarkan ke sejumlah produser, namun selalu ditolak. Meski naskah itu menarik, produser tampaknya tak mau Stallone sebagai pemeran utamanya sedangkan Stallone selalu menawarkan dengan syarat ia yang harus jadi pemeran utama.

Ketika produser Robert Chartoff dan Irwin Winkler setuju akan membeli naskah itu, mereka tetap tak mau menjadikan Stallone sebagai pemeran utamanya. Bahkan agar Stallone mau menjual naskah itu Chartoff-Winkler sampai menawarkan fee yang lebih besar. Namun Stallone tetap tak mau. Akhirnya malah Chartoff dan Winkler yang mengalah dengan setuju Stallone yang jadi pemeran utamanya.

Kengototan Stallone berbuah manis. Ketika film itu dirilis tahun 1976 dengan judul Rocky, film itu meledak di pasaran. Dengan biaya produksinya yang hanya US$1,1 juta, Rocky bisa meraih pendapatan sampai US$225 juta. Selain itu film ini mendapat sejumlah penghargaan. Rocky dinominasikan untuk meraih Oscar di 10 kategori termasuk Best Actor dan Best Original Screenplay untuk dirinya. Namun pada akhirnya Rocky hanya meraih tiga Oscar untuk Best Picture, Best Directing dan Best Film Editing. Meski begitu, itulah batu loncatan Sylvester Stallone hingga menjadi salah satu legenda Hollywood saat ini. Keyakinan dan kekukuhannya untuk menjadi pemeran utama di film Rocky telah menunjukkan kemampuan terbaiknya. Dan ia berhasil membuktikannya.

sumber : www.andriewongso.com

Seminggu Terjebak Salju Karena Hiking Sendirian

Banyak pendaki yang tergoda untuk naik gunung sendirian. Biasanya gunung yang didaki tak terlalu tinggi dan bisa ditempuh untuk pulang-pergi (sampai puncak, kemudian pulang) dalam sehari. Meski tampak sepele dan pendakian itu tak terlalu bahaya, tetapi kecelakaan kecil saja bisa mengubah segalanya.

Adalah Mary Owen, 23 tahun, yang baru saja selamat dari musibah yang hampir merengut nyawanya gara-gara ia mendaki sendirian. Rencana semula ia akan naik Gunung Hood yang terletak di Santa Rosa, California, yang tingginya hanya 833 meter, bersama sejumlah teman. Namun saat teman-temannya membatalkan niatnya Owen tetap bersikeras mendaki sendiri. Ia sudah bercita-cita ingin menaiki Gunung Hood sejak melihatnya tahun 2010 kala ikut hiking melintasi Pacific Crest Trail.

Maka Minggu pagi akhir Maret lalu berangkatlah ia hiking sendirian dengan perbekalan hanya untuk 13 jam. Cuaca memang kurang menguntungkan. Salju pun turun yang makin lama makin deras. Lalu 300 meter menjelang puncak tiba-tiba ia kehilangan arah. Langit makin gelap dan sulit untuk melihat. "Salju begitu pekat dan jika saya teruskan itu seperti berenang ke hulu melawan arus,” katanya. Ia pun putuskan untuk kembali, namun menempuh arah yang salah. Ia terjatuh ke jurang sedalam 12 meter dan membuat kakinya terluka dan sulit melangkah.

Dengan luka yang didapatnya ia tak bisa melanjutkan perjalanan. Karena nyeri ia mencari tempat perlindungan dari terpaan salju yang deras. Ia menemukan cekungan yang bisa melindunginya dari salju dan longsoran salju dari atas. Karena hari makin sore ia putuskan untuk tidur di situ dengan harapan besok pagi kakinya sembuh dan ia bisa melanjutkan perjalanan pulang.

Akan tetapi saat bangun pagi, ia menemukan kakinya justru makin parah. Malah ia tak bisa menggerakkannya. Dengan kondisi seperti itu ia tak mungkin bisa pulang dan hanya bisa menunggu pertolongan. Ia yakin pertolongan akan segera datang karena sudah mendaftar di pos penjagaan dengan jadwal kembali sebelum jam 5 pagi hari Senin. Namun setelah ditunggu-tunggu pertolongan tak juga datang. Rupanya daftar registrasinya hilang.

Sambil menunggu pertolongan yang tak pernah datang ia berusaha bertahan sekemampuannya. Untung hujan salju tak selamanya turun. Ketika terang ia bisa berjemur dan memanaskan badan dengan membakar kayu meski hanya beberapa saat yang hanya cukup untuk menghangatkan tangannya. Saat hujan ia menampung air untuk minum menggunakan jaketnya.

Sampai hari Jumat pertolongan tak juga datang. Praktis ia hanya bertahan dengan minum dari salju yang dicairkan. “Saya tak mau mati di sini dan yakin tak akan mati di sini,” katanya. Keyakinan itu yang membuatnya bisa bertahan. Selama menunggu pertolongan ia berhalusinasi dengan melihat banyak teman-temannya datang menolong dan memberinya minum. “Namun saya selalu meyakinkan diri, jika mereka memberi saya minum air dingin berarti itu bukan halusinasi lagi,” katanya.

Hari Jumat, setelah lima hari tak mendapat pertolongan, tiba-tiba ia bisa memiliki tenaga untuk naik ke pelataran lebih luas agar bisa dilihat tim penolong. Tak lama kemudian pesawat melintas. Ia berusaha melambai-lambaikan tangan. Sayangnya, ia tak terlihat. Karena tak ada lagi pesawat yang melintas ia kembali ke cekungan. Besok paginya, Sabtu, ia kembali naik ke tempat yang mudah kelihatan. Beruntung hari itu tim pencari melihatnya. Akhirnya ia bisa diselamatkan setelah seminggu terjebak di gunung. Ia bisa bertahan karena keyakinan diri bahwa ia tak akan mati di situ.

________

Foto: Kati.com
sumber : www.andriewongso.com