Senin, 25 Maret 2013

Ndilalah (Kebetulan)

Ada sebuah istilah dalam bahasa Jawa yang sering kali kita dengar kalau terjadi sesuatu hal. Kata tersebut adalah ndilalah. Secara bahasa Indonesia, kata tersebut mungkin—disebut mungkin karena tidak ada arti yang paling pas—berarti “kebetulan”. Namun, uniknya, kebetulan dalam arti ndilalah itu bisa bermakna dua hal, baik positif maupun negatif. Dan, justru di sinilah keunikan kata ndilalah menjelma menjadi sebuah kata yang kaya makna.

Misalnya, dalam kondisi sedang lapar. Tiba-tiba seorang teman datang membawa makanan. Biasanya, akan terlontar ucapan: “Wah, pas lapar kok ya ndilalah kamu datang bawa makanan. Pas banget.” Ini sebuah arti yang positif di mana ndilalah yang terjadi adalah kondisi yang kebetulan membawa keadaan yang menyenangkan, yakni membebaskan diri dari rasa lapar. Sebaliknya, kadang kata ndilalah “muncul” bersama dengan kondisi yang kurang mengenakkan. Misalnya, ketika seseorang menghadapi ujian kenaikan kelas. Muncul ucapan: “Kok yang keluar soal ujian ini ya? Ndilalah pas saya kemarin tidak masuk ketika dijelaskan guru. Wah bisa jelek nilai saya…” Ini ungkapan ndilalah yang bernada kekecewaan akibat sebuah peristiwa yang dianggap kurang menyenangkan.

Di sinilah keistimewaan kata ndilalah. Ia bisa melekat pada sebuah kejadian yang bermakna ganda. Namun yang pasti, ia sering kali tak bisa diprediksi. Bahkan, hampir selalu datang setelah sebuah kejadian muncul. Di sini, ndilalah mengandung ketidakpastian. Sebagaimana sebuah masa depan yang sering kali kita cita-citakan. Ada kalanya benar-benar menjadi kenyataan. Sering pula tak sesuai dengan harapan.

Perjalanan hidup kita sebagai manusia pun pasti tak lepas dari berbagai “ndilalah-ndilalah” yang muncul bergantian. Ini yang menjadi tantangan kita sebagai manusia yang tak lepas dari ujian dan cobaan. Maka, kita barangkali perlu merenung. Ada berapa banyak hal yang telah kita lewati. Jika belum sesuai dengan rencana, tentu sudah jadi kewajiban kita untuk melakukan evaluasi dan mencoba memperbaikinya di waktu mendatang. Sebaliknya, jika target sudah tercapai, ada baiknya pula tetap kita evaluasi agar nilai-nilai yang membawa keberhasilan bisa kita pertahankan.

Saat “mendata” dan “menelusuri” kejadian yang sudah berlangsung, kita pasti akan bertemu dengan banyak ndilalah yang barangkali kita bisa mempertanyakan, bagaimana itu bisa terjadi? Kadang malah, kita sendiri terheran-heran mengapa semua itu bisa menjadi kenyataan? Menyikapi ini, saya menyebut, bahwa di balik kata ndilalah itu terdapat peran Sang Mahakuasa.

Saat kita sudah berusaha semaksimal mungkin, saat kita sudah berupaya sekeras mungkin, dan tiba-tiba belum menjadi kenyataan, kita tentu kecewa. Tapi, tak jarang, di tengah kekecewaan itu, ndilalah muncul hal yang tak disangka, sehingga kita mendapat “pengganti” atas usaha yang telah kita lakukan sebelumnya. Dan tak jarang, pengganti ini melebihi dari apa yang kita harapkan.

Menyikapi banyak ndilalah yang kerap kali kita temui, mari kita kembali merenungkan, betapa kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan pasti memiliki banyak kesempatan dalam hidup yang diberikan, baik berupa kebaikan atau juga sebaliknya, kejelekan. Jika kita mampu merenungi dan mengevaluasi itu semua, maka berbagai kemungkinan “ndilalah” yang akan datang—yang tak bisa kita tebak ujung pangkalnya—akan menjadikan kita selalu mampu menjadi manusia yang seutuhnya. Yakni, manusia yang mau bersyukur saat berada di atas, mau terus berjuang kala di bawah, dan mau terus berbagi untuk meraih kebahagiaan yang hakiki.

sumber : www.andriewongso.com

Gelora Semangat Kebangsaan di Xiamen, China

Seminar motivasi  “Unite Your Nationalism Spirit with the Color of Wonderful Indonesia” di Xiamen, Fujian, China, sukses luar biasa. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Permic (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia China) cabang Xiamen itu berlangsung pada siang 23 Maret 2013 dengan pembicara Motivator No. 1 Indonesia Andrie Wongso. Tak hanya diikuti oleh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di sana kegiatan tersebut juga dihadiri masyarakat setempat yang pernah tinggal atau dilahirkan di Indonesia dengan penuh antusias.

“Ini semacam temu kangen pada Indonesia,” kata The Un Thung, lelaki 70 tahun yang lahir di Jawa Tengah dan pindah ke Xiamen di pertengahan tahun 1960-an, dengan logat Indonesia yang masih kental. Un Thung sangat dikenal di kalangan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Xiamen karena kepeduliannya membantu mahasiswa Indonesia yang mengalami kesulitan di sana. “Ya, semacam kalau ada masalah dengan imigrasi, saya membantu mereka,” katanya.

Sementara Chen Yu Zeng, President Xiamen Indonesia Returned Overseas Chinese Association, mengaku senang dengan kegiatan ini. “Kami (masyarakat Xiamen yang pernah tinggal atau dilahirkan di Indonesia) biasa berkumpul setidaknya setahun sekali untuk mengadakan pesta kebudayaan Indonesia. Sekarang ada kegiatan ini,” katanya. Menurutnya, seminar motivasi kali ini juga sangat mendorong rasa kebangsaan Indonesia. Meski ia sekarang warga negara China, tetapi lelaki kelahiran Bandung, Jawa Barat, 66 tahun itu merasa jadi orang Indonesia. “Meski saya di sini, jiwa saya Indonesia,” kata pensiunan instansi pariwisata China itu.

Kegiatan itu memang dirancang sebagai pesta budaya. “Diselenggarakannya acara ini memiliki tujuan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme, cinta budaya, dan cinta Tanah Air Indonesia,” kata Ketua Panitia Geraldo Gelian. Sementara, menurut Ketua Permic Xiamen, Mariska, kegiatan tersebut adalah untuk menunjukkan semangat solidaritas yang terkandung dalam semboyan Indonesia, Bhineka Tunggal Ika. “Walaupun kita berbeda suku, agama, ras, budaya, tetapi kita semua satu,” katanya. “Mari kita sebagai putra-putri bangsa Indonesia selalu mencintai dan menghargai keberagaman budaya Indonesia yang sangat luar biasa,” paparnya.

Kegiatan “Unite Your Nationalism Spirit with the Color of Wonderful Indonesia” diawali dengan bazaar produk Indonesia seperti batik sehari sebelumnya. Dan puncaknya pada 23 Maret 2013. Sebelum tampilnya Bpk. Andrie Wongso, ada pertunjukan budaya seperti Tari Saman dari Aceh dan pertunjukan budaya dari Medan yang penarinya didatangkan langsung dari Indonesia.

Tampilnya motivator kita di puncak acara, makin menegaskan pentingnya rasa kebangsaan ini. Beliau menyebutkan, China bisa berkembang dengan begitu pesat dan dikagumi dunia saat ini. “Jika China bisa, Indonesia pun pasti bisa!” katanya yang disambut tepuk tangan 400-an peserta dengan menggelora. Sedangkan bagi mahasiswa, ia menekankan pentingnya 5 hal yang disebutnya 5D dalam meraih sukses, yaitu Dream, Decision, Desire, Discipline, dan Determination. “Tugas utama kalian adalah belajar.  Maka belajarlah sebaik-baiknya. Setelah selesai, pulang dan bangunlah Indonesia!” katanya dengan menggelora.

sumber : www.andriewongso.com

Menabur yang Baik, Menuai yang Positif

Ini adalah kisah nyata yang terjadi pada tahun 1892 di Stanford University.

Seorang mahasiswa berusia 18 tahun sedang berjuang membayar biaya kuliahnya. Dia seorang yatim piatu, dan kebingungan mencari cara untuk melunasi biaya itu. Suatu saat muncul sebuah ide cemerlang di benaknya. Dia dan seorang temannya memutuskan untuk mengadakan sebuah konser musik di kampus dengan tujuan menggalang dana demi kuliah mereka. Mereka berhasil mengontak pianis terkenal: Ignacy J. Paderewski. Manajernya meminta pembayaran sebesar $2.000 untuk pertunjukan piano yang akan ditampilkan Paderewski. Mereka pun berhasil mencapai kata sepakat.

Kedua mahasiswa itu pun mulai bekerja agar konser musik ini berjalan sukses. Hari yang ditunggu-tunggu tiba juga. Paderewski tampil memukau di Stanford. Sayangnya, pertunjukan itu ternyata tidak begitu laris manis. Kedua mahasiswa itu hanya berhasil menjual sekitar sepertiga tiket yang disediakan. Total penjualan yang terkumpul juga hanya senilai $1.600.

Dengan perasaan kecewa, mereka berdua mendatangi Paderewski dan menjelaskan keadaan mereka. Tak lupa mereka membawa seluruh uang hasil pertunjukan, sebesar $1.600, beserta sebuah cek dengan nilai $400 untuk memenuhi perjanjian kontrak. Mereka berjanji untuk membayarkan cek itu secepat mungkin.

“Tidak,” kata Paderewski. “Saya tidak terima ini.” Lalu, cek itu dirobeknya, dan dikembalikan uang sebesar $1.600 itu sembari berkata pada kedua mahasiswa itu, “Ini uang konser kalian. Tolong kurangi dengan biaya yang sudah kalian keluarkan. Sisihkan uang yang kalian butuhkan untuk upah kalian sendiri. Dan berikan sisanya padaku.” Kedua mahasiswa itu begitu terkejut, dan tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.

Bagi Paderewski, tindakan kebaikan itu tidak seberapa. Tapi apa yang telah dilakukannya itu jelas menandakan bahwa Paderewski adalah seorang manusia yang luar biasa. Di kemudian hari, dia menjadi perdana menteri Polandia. Tak diragukan lagi, dia adalah pemimpin yang hebat. Tapi sayangnya, saat dia memerintah, pecah Perang Dunia II dan negerinya porak-poranda. Ada lebih dari 1,5 juta orang yang menderita kelaparan di Polandia, dan tidak ada dana tersisa untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyat. Paderewski tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa. Tapi akhirnya dia berhasil meminta bantuan pada US Food and Relief Administration (Badan Pengawas Makanan dan Bantuan Amerika Serikat).

Saat itu pemimpinnya bernama Herbert Hoover, yang di kemudian hari menjadi Presiden AS. Hoover setuju untuk membantu dan segera mengirimkan berton-ton gandum untuk member makanan bagi rakyat Polandia yang kelaparan. Sebuah bencana besar pun berhasil dicegah. Paderewski menjadi lega sekali. Dia putuskan untuk menemui Hoover dan secara langsung berterima kasih padanya. Ketika Paderewski mulai mengucapkan terima kasih kepada Hoover atas tindakannya yang mulia, Hoover cepat-cepat menyelanya dan berkata, “Anda tak perlu berterima kasih Perdana Menteri. Anda mungkin tidak mengingat kejadian ini, tapi beberapa tahun lalu, Anda sudah menolong dua mahasiswa muda menyelesaikan kuliahnya di AS. Saya salah satunya.”

Kisah ini kembali menguatkan bahwa apa yang kita tabur dalam kehidupan sekitar kita, akan kita tuai di kemudian hari. Agar kita bisa menuai sesuatu yang positif dan baik, kita pun terlebih dulu harus menabur sesuatu yang juga positif dan baik. Dunia ini pada dasarnya adalah sebuah tempat yang indah, seandainya kita benar-benar tahu mana yang benar dan salah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Ingatlah, kita akan menuai apa yang telah kita tabur!

sumber : www.andriewongso.com

Sabtu, 16 Maret 2013

5 Prinsip hidup kunci sukses Soeharto

5 Prinsip hidup kunci sukses Soeharto
 


Presiden Soeharto hidup dengan memegang falsafah Jawa. Dia selalu merenungi nasihat-nasihat yang kemudian dijadikannya prinsip hidup. Diresapinya kalimat-kalimat yang mengandung arti kebajikan dan pesan itu.
Dari ayah tirinya Atmopawiro, Soeharto mempelajari spiritual. Soeharto selalu puasa Senin Kamis dan tidur di tritisan atau di bawah ujung atap di luar rumah.
"Pada masa itu saya ditempa mengenal dan menyerap budi pekerti dan filsafah hidup yang berlaku di lingkungan saya. Mengenal agama dan tata cara hidup Jawa," kata Soeharto dalam biografi 'Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya' yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH.
Dari pamannya seorang mantri pertanian bernama Prawirodiharjo, Soeharto mempelajari hidup sebagai petani yang harus selaras dengan alam. Prinsip-prinsip hidup semasa kecil terus diamalkan Soeharto hingga dia menjadi pejabat.
Akhirnya, Soeharto yang anak seorang petugas irigasi, bisa menjadi presiden kedua Republik Indonesia. Selama 32 tahun, Soeharto memimpin Indonesia dengan pro dan kontra.
Apa saja prinsip hidup Soeharto yang menjadikannya sukses?

1. Aja kagetan, aja gumunan dan aja dumeh

Pada masa kecil di bawah bimbingan ayah tirinya Atmopawiro, Soeharto mulai mengenal falsafah Jawa. Saat itu pula Soeharto mengenal ajaran tiga 'aja'. Aja kagetan, aja gumunan dan aja dumeh.
Artinya kira-kira jangan kagetan, jangan heran dan jangan mentang-mentang. Hal ini diresapi betul oleh Soeharto.
"Ini kelak jadi penegak diri saya dalam menghadapi soal-soal yang bisa mengguncangkan diri saya," kata Soeharto.
Inti ajaran ini bermaksud untuk menanamkan sikap sabar, tenang, dan tidak sombong. Bila orang ingin berhasil dalam kehidupan bermasyarakat, keyakinan pada diri sendiri harus dipupuk dan dibina. Jangan sombong saat sedang diamanahi jabatan tertentu.

2. Hormat kalawan gusti, guru, ratu lan wong atuwa karo

Prinsip hidup 'Hormat kalawan gusti, guru, ratu lan wong atuwa karo' selalu dipegang Soeharto sepanjang hidupnya. Artinya hormat pada tuhan, guru, pemerintah dan kedua orang tua.?
Ratu di sini dipakai sebagai lambang pemerintahan dan negara. Hal ini mengandung pengertian bahwa manusia di negaranya tidak mengabdi pada perorangan, melainkan pada nusa dan bangsa.
Sedangkan wong atuwa karo artinya tidak hanya kedua orangtua kandung. Pada mertua dan saudara tua pun harus berbakti.
"Sampai jadi presiden saya merasa tidak berubah dalam hal ini. Saya junjung tinggi ajaran ini dan saya percaya akan kebenarannya," kata Soeharto.

3. Sa-Sa-Sa

Sa-sa-sa atau 'tiga sa' ini juga merupakan salah satu falsafah hidup Soeharto. Sabar Atine, Saleh Pikolahe, Sareh Tumindake. Artinya kira-kira selalu sabar, selalu saleh dan taat beragama, dan selalu bersikap bijaksana.
Soeharto belajar agama sejak kecil. Ketika tinggal di Wiryantoro bersama pamannya yang bernama Prawirodiharjo, Soeharto belajar mengaji di langgar (musala kecil) dekat rumah. Suasana rumah pamannya yang religius juga menjadi bekal kehidupan rohani Soeharto.
Soeharto juga dekat dengan ilmu kebatinan. Tapi menurutnya ilmu kebatinan berbeda dengan klenik. Ilmu kebatinan adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.?
"Sesuai dengan peninggalan nenek moyang kita. Ilmu kebatinan itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mendekatkan batin kita kepada-Nya. Orang kadang-kadang salah kaprah, mengira ilmu kebatinan itu ilmu klenik," kata Soeharto.

4. Mikul dhuwur mendhem jero

Mikul dhuwur mendhem jero artinya menjunjung tinggi-tinggi, membenam dalam-dalam. Peribahasa ini mengajarkan cara anak berbakti pada orang tuanya. Seorang anak harus menjaga benar-benar nama baik orang tua, serta jasa-jasanya pada negara. Harus dijaga dan jangan sampai menodainya.
Sebaliknya jika ada kesalahan orangtua, anak tak perlu mengungkit-ungkitnya. Lebih elok jika dimaafkan. Anak juga harus memperlakukan orang tua dengan baik semasa hidup dan ketika sudah meninggal.
Soeharto pun mengajarkan prinsip Mikul dhuwur mendhem jero ini pada enam anaknya.

5. Sugih tanpa bandha

Pepatah ini lengkapnya berbunyi Sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji dan menang tanpa ngasorake. Artinya kaya tanpa kekayaan, menyerbu tanpa bala tentara, kuat perkasa tapi ajian, menang tanpa ada yang merasa dikalahkan.
Sugih tanpa bandha juga berarti segala perbuatan manusia didasarkan atas keikhlasan batin tanpa pamrih. Nglurug tanpa bala bisa diartikan merasa diri berharga bukan karena ditakuti, disegani melainkan karena kemampuan untuk setia pada apa yang kita yakini.
Digdaya tanpa aji, menang tanpa ngasorake berarti seseorang menjadi perkasa, menjadi pemenang, menjadi raja bukan karena punya kesaktian atau kekuatan tempur luar biasa. Tetapi memiliki kemampuan untuk memelihara ketentraman dan kedamaian hidup.

sumber :http://www.merdeka.com

Kamis, 14 Maret 2013

Masih Banyak Orang Baik

Suatu hari saya naik angkutan kota (angkot) dari Darmaga menuju Terminal Baranangsiang, Bogor. Pengemudi angkot itu seorang anak muda. Di dalam angkot duduk tujuh penumpang, termasuk saya. Masih ada lima kursi yang belum terisi.

Di tengah jalan, angkot-angkot saling menyalip untuk berebut penumpang. Tapi ada pemandangan yang sedikit janggal. Di depan angkot yang kami tumpangi, ada seorang ibu dan tiga orang anaknya berdiri di tepi jalan. Tiap ada angkot yang berhenti di hadapannya, dari jauh kami bisa melihat si ibu bicara kepada supir angkot, lalu angkotnya melaju kembali. Kejadian ini terulang beberapa kali.

Ketika angkot yang kami tumpangi berhenti, si ibu bertanya, “Dik, lewat terminal bis ya?” Supir tentu menjawab, “Ya”. Yang aneh, si ibu tidak segera naik melainkan bilang, “Tapi saya dan ketiga anak saya tidak punya ongkos.."

Sambil tersenyum, supir itu menjaawab, "Enggak apa-apa Bu.. naik aja.” Ketika si ibu tampak ragu-ragu, supir mengulangi perkataannya, “Ayo Bu, naik saja, enggak apa-apa.”

Saya terpesona dengan kebaikan supir angkot yang masih muda itu. Di saat jam sibuk dan angkot lain saling berlomba untuk mencari penumpang, si supir muda ini merelakan empat kursi penumpangnya untuk si ibu dan ketiga anaknya.

Ketika sampai di terminal bis, empat penumpang 'gratisan' ini turun. Si ibu mengucapkan terima kasih kepada supir. Di belakang ibu itu, seorang penumpang pria turun lalu membayar dengan uang Rp 20.000. Ketika supir hendak memberi kembalian (ongkos angkot sampai terminal hanya Rp 4.000), pria ini bilang bahwa uang itu untuk ongkos dirinya, ditambah si ibu dan ketiga anaknya tadi. “Terus jadi orang baik ya, Dik.. ” kata pria tersebut kepada supir angkot muda itu.

Sore itu saya benar-benar dibuat kagum dengan kebaikan-kebaikan kecil yang saya lihat. Seorang ibu miskin yang jujur, seorang supir yang baik hati, dan seorang penumpang yang budiman. Mereka saling mendukung untuk kebaikan… Andai separuh saja bangsa kita seperti ini, maka dunia akan takluk oleh kebaikan kita. Luar biasa!!

(disadur dari kisah yang ditulis oleh Kukuh Nirmala)
sumber : www.andriewongso.com

Bakti Kepada Orangtua

Suatu hari, saya bertemu dengan seorang sahabat, yang meminta saya untuk “sharing” di acara keluarga besarnya—dalam rangka memperingati kelahiran almarhum ayahandanya ke-100 dan telah meninggal 40 tahun lalu. Saya sungguh merasa surprise, luar biasa sekali! Mengumpulkan seluruh anggota keluarga, yang telah tersebar di belahan dunia, yang berasal muasal dari sepasang suami istri yang telah meninggal 40 tahun lalu? Pasti mendiang almarhum adalah tokoh yang sangat luar biasa, dicintai, dihormati, dibanggakan oleh anak-anaknya, menantu dan para cucu. Tanpa berpikir panjang, saya mengiyakan. Saya pun segera mengatur ulang jadwal yang telah ada untuk memenuhi permintaan sahabat saya itu. 

Peringatan kelahiran mendiang sang ayahanda tercinta itu dihadiri oleh keluarga besarnya yang terdiri dari sepuluh anak, cucu-cucu, beserta cicit-cicit. Mereka berkumpul di Jakarta pada 7 Februari 2013. Jumlahnya kira-kira 100 orang.

“Tidak ada satu kata pun yang bisa mewakili almarhum. Beliau memiliki karakter yang sudah jadi. Mutiara pun tak bisa mewakilinya, seorang ayah, seorang kepala keluarga yang komplet. Almarhum begitu luar biasa mendidik 10 orang anak. Mungkin tidak meninggalkan harta yang berlimpah, tetapi motivasi, disiplin dan kekayaan mental lainnya. Kalau tidak mampu sukses mendidik anak-anaknya, tidak mungkin bisa seperti hari ini,” tegas saya mengenai almarhum.

Sungguh penting arti bakti bagi seorang anak. Bagi saya pribadi, memperingati jasa orangtua seperti yang dilakukan anak-anak almarhum, merupakan hal yang baik untuk dilestarikan dan dijadikan contoh bagi anak-anak dari keluarga lain.

Ada kondisi di zaman modern ini di mana anak-anak tak lagi mengurus orangtuanya yang berangkat uzur. Mereka lebih memilih mengirimnya ke panti jompo. Pemimpin Singapura dahulu, Lee Kuan Yew, pernah mengakui kekeliruan dan menyesal karena membuat keputusan yang membolehkan orangtua dikirim ke panti jompo. Bahkan secara gamblang dikatakan Master Cheng Yen—pimpinan Buddha Tzu Chi yang bijaksana—saat diwawancara wartawan. Ketika ditanya alasan dirinya tak mendirikan panti jompo, beliau menjawab dengan anggun dan bijak, “Saya mengharapkan bahwa setiap rumah adalah panti jompo bagi setiap orangtua kita.” Pernyataan itu pantas jadi perenungan.

Bakti bagi setiap orang terhadap orangtuanya tentu tidak sama satu sama lain karena kondisinya berbeda-beda. Tetapi “bakti” adalah hal yang tidak bisa diabaikan. Dalam tradisi Tionghoa sendiri, ada delapan pembelajaran penting. Pertama adalah bakti (Xiao), kedua adalah persaudaraan (Ti), lalu kesetiaan (Zhong), dapat dipercaya (Xin), Kesusilaan (Li), Kebenaran (Yi), Sederhana (Lian), dan Tahu Malu (Chi). Kalau kita mampu menjalankan delapan ajaran seperti ini yakin sekali kita akan jadi orang luar biasa!


sumber : www.andriewongso.com

Einstein Ternyata Juga Sering Gagal

Dikenal sebagai orang jenius sejagat, Einstein di masa kecilnya tak menunjukkan tanda-tanda ia sangat pintar. Bahkan ayahnya menganggap Einstein terbelakang mental, penyendiri, dan pemarah (suka melempar barang). Hingga usia empat tahun Einstein tak pernah bicara. Bahkan, sampai berusia tujuh tahun, belum bisa membaca.

Namun minat lelaki kelahiran Ulm, Jerman, 14 Maret 1879 ini pada ilmu fisika sudah dimulai sejak usia lima tahun. Hal itu berawal ketika ayahnya menghadiahinya sebuah kompas. Einstein kecil merasa aneh dengan benda itu, yang seolah-olah di dalamnya ada yang hidup. Sejak itu, ia bertekad mempelajarinya. Ia lantas juga menyukai matematika setelah belajar kalkulus di tahun 1891. Gara-gara kesukaannya pada matematika, ia sampai terobsesi menjadi guru matematika. Meski begitu, untuk mengejar cita-citanya menjadi guru tak gampang.

Pada saat usia 15 tahun, orangtuanya pindah ke Milan, Italia, sedangkan ia tetap tinggal di Jerman agar bisa meneruskan sekolahnya. Namun setahun kemudian ia justru pindah ke Swiss karena ingin melanjutkan sekolah ke Eidgenössische Technische Hochschule (ETH, Sekolah Politeknik Swiss) di Zurich. “Saya ingin sekolah di Zurich untuk mempelajari matematika dan fisika selama empat tahun, lalu jadi guru bidang pelajaran itu. Itulah rencana saya,” kisahnya suatu ketika.

Namun ia gagal saat mengikuti tes masuk pada tahun 1895. Einstein tak kapok dan bertekad mencobanya lagi tahun berikutnya. Untuk mempersiapkan seleksi tahun berikutnya, ia belajar di sebuah sekolah di Arrau, Swiss. Akhirnya ia lolos seleksi dan mulai belajar di ETH pada tahun 1896 dan lulus tahun 1900.

Sayangnya ia tak mendapatkan pekerjaannya sebagai guru. Ia pernah mencoba jadi dosen di almamaternya ETH, tetapi gagal. Tiga temannya, termasuk sahabatnya, Marcel Grossmann, bisa menjadi asisten di ETH, namun Einstein tak tertarik jika hanya menjadi asisten.

Akhirnya ia menjadi guru matematika di sebuah SMA di Winterthur pertengahan 1901. Menurutnya, kala itu ia sudah menyerah untuk terus merengek minta pekerjaan di universitasnya. Ia juga menjadi guru honorer di sebuah sekolah swasta di Schafhausen.

Ayah Grossmann kemudian mencoba mencarikan pekerjaan buatnya yang membuat Einstein bisa bekerja di kantor paten di Bern. Einstein bekerja di kantor paten dari tahun1902 hingga 1909. Selama bekerja, Einstein terus mengembangkan ilmunya dan meraih gelar doktor pada tahun 1905 dari University of Zurich. Tesis doktornya ia persembahkan buat Grossmann yang sudah membantunya.

Pada tahun 1905 ini, ia menulis tiga paper yang salah satunya membahas apa yang sekarang disebut teori relativitas. Setelah itu paper-paper-nya bermunculan. Di sana ia mengemukakan berbagai macam teori yang telah dikembangkan. Setiap gagasan yang ia kemukakan dalam paper itu, hampir selalu menjadi bahasan para ilmuwan lainnya.

Begitulah cara Einstein menapaki hidupnya yang ternyata tak mudah. Orang sehebat Einstein ternyata juga sering gagal, sulit mencari pekerjaan, dan pernah putus asa. Namun minatnya pada ilmu fisika dan matematika tak pernah surut hingga melahirkan teori-teori baru yang mencengangkan. Pencapaian keilmuannya ini ibarat sebuah pendakian panjang untuk mencapai puncak tertinggi keilmuannya di dunia. Dari sanalah Albert Einstein dikenang orang sebagai si superjenius.



__________

Sumber tulisan: Majalah LuarBiasa Dapatkan artikel-artikel menarik dan inspiratif lainnya di majalah motivasi LuarBiasa, dibaca kapan pun tetap berisi! Informasi:  (021) 6339523

Selasa, 05 Maret 2013

Nilai Kelulusan

Alkisah, di suatu sore hari di sebuah perguruan kungfu, tampak seorang murid yang masih muda berlutut di hadapan sang guru untuk melakukan uji terakhir sebelum turun gunung. Pelajaran kehidupan, latihan keras, dan disiplin tinggi yang telah dijalaninya selama ini akhirnya mampu diselesaikan dengan baik.

“Muridku, sebelum diizinkan untuk turun gunung, kamu harus lulus satu ujian lagi,” kata sang guru besar.

“Saya siap Guru,” jawab si murid yang menduga harus menjalani satu ronde adu tanding bela diri lagi.

“Kamu harus menjawab pertanyaan saya. Bagi kamu, apa arti tanda kelulusan yang akan saya berikan ini?”

“Bagi saya, tanda kelulusan adalah akhir dari perjalanan saya,” jawab si murid dengan nada bangga.

Sang guru terdiam, seakan menunggu kata-kata lain dari muridnya itu. Jelas sekali dia tidak puas dengan jawaban yang diberikan muridnya. Akhirnya, sambil menghela napas, sang guru berkata, ”Kamu belum siap menerima tanda kelulusan dari perguruan ini. Berlatihlah kembali dan pikirkan baik-baik. Kembalilah kemari satu bulan lagi.”

Sebulan kemudian, si murid datang dan berlutut lagi di hadapan sang Guru. “Muridku, setelah berpikir dan berlatih di sini selama ini, apa arti sesungguhnya dari tanda kelulusan yang diberikan kepada kamu?” tanya sang guru.

“Artinya adalah simbol kehormatan dan pencapaian tertinggi dalam seni bela diri di perguruan ini,” jawab si murid.

Sambil menggeleng lemah, sang guru berkata, “Sayang sekali, kamu belum siap turun gunung dan menerima tanda kelulusan. Kembalilah satu bulan lagi.”

Satu bulan berlalu, Dan sekali lagi guru besar bertanya, “Muridku, saya tidak bisa melepas kepergianmu sebelum kamu memiliki pengertian benar dengan menjawab pertanyaan terakhir ini. Apa arti sesungguhnya tanda kelulusan ini?”

“Setelah merenung dengan sungguh-sungguh selama satu bulan ini, saya menyadari,  tanda kelulusan bukanlah akhir perjalanan tetapi justru awal dari dimulainya perjalanan tanpa akhir dari disiplin, kerja keras untuk mengamalkan prinsip-prinsip yang telah diajarkan di perguruan selama ini,” jawab si murid dengan mantap dan sikap yang lebih dewasa.

Dengan wajah gembira, sambil mengangguk-anggukkan kepala, sang guru besar berkata: “Sekarang kamu sudah siap menerima tanda kelulusan ini dan memulai kerja kerasmu di luar perguruan ini. Semoga kamu berhasil!”



Saat kita menerima sebuah tanda kelulusan, gelar, predikat, di bidang apa pun, sesungguhnya itu awal sebuah perjalanan panjang untuk membuktikan bahwa kita memang layak menerimanya dengan segala konsekuensinya dan tanggung jawab yang menyertai di dalamnya.

Mari tetap bersemangat. Bukan sekadar pembuktian diri karena sebuah tanda lulus atau gelar semata, tetapi lebih dari itu, untuk meningkatkan kualitas kita. Karena sejatinya hidup adalah aktualisasi diri. Hidup adalah proses belajar dan berjuang tanpa batas.


sumber : www.andriewongso.com